Pengertian Group
Kelompok adalah
kumpulan dari dua orang atau lebih yang berinteraksi dan mereka saling
bergantung (interdependent) dalam rangka memenuhi kebutuhan dan tujuan bersama,
meyebabkan satu sama lain saling mempengaruhi (Cartwright&Zander, 1968;
Lewin, 1948)
Jenis-jenis Kelompok (Group)
Salah satu cara
yang paling umum dalam meng-klasifikasi-kan jenis kelompok dalam sebuah
Organisasi adalah dengan membaginya menjadi dua jenis yaitu Kelompok Formal dan
Kelompok Informal. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai kedua jenis
kelompok tersebut :
Kelompok Formal (Formal Group)
Kelompok Formal
atau Formal Group adalah Kelompok yang sengaja dibentuk atau ditunjuk oleh
Organisasi untuk melakukan tugas tertentu. Perilaku kelompok tersebut adalah
diarahkan untuk mencapai Tujuan yang telah ditentukan oleh Organisasi. Kelompok
Formal ini umumnya memiliki aturan dan pembagian tugas yang jelas.
Kelompok Formal ini
dapat dibagi lagi menjadi 2 jenis yaitu :
- Kelompok Komando atau Command Group, yaitu kelompok formal yang terdiri dari individu-individu dalam organisasi dengan garis komando jelas seperti bawahan yang harus melapor ke atasannya. Kelompok Komando ini biasanya ditentukan dalam Bagan Organisasi.
- Kelompok Tugas atau Task Group, yaitu kelompok formal yang dibentuk untuk menyelesaikan tugas tertentu. Individu-individu yang bergabung ke dalam Kelompok Tugas adalah mereka yang dapat bekerjasama dalam menyelesaikan Tugas diarahkan oleh Organisasi. Contoh Kelompok Tugas dalam perusahaan Manufakturing adalah membentuk Kelompok Gugus Kendali Mutu (Quality Control Circle) yang tertugas untuk menangani masala-masalah kualitas.
Kelompok Informal (Informal Group)
Kelompok Informal
atau Informal Group adalah Kelompok yang dibentuk oleh anggota organisasi yang
mempunyai kepentingan yang sama. Kelompok Informal ini umumnya tidak
terstruktur secara formal dan tidak ditetapkan secara resmi oleh organisasi.
Timbulnya Kelompok Informal karena adanya tanggapan terhadap kebutuhan akan
hubungan sosial.
Kelompok Informal
ini dapat dibagi lagi menjadi 2 jenis yaitu :
- Kelompok Kepentingan atau Interest Group, yaitu kelompok yang dibentuk oleh individu-individu tertentu dalam organisasi yang memiliki kepentingan sama.
- Kelompok Persahabatan atau Friendship Group, yaitu kelompok yang terbentuk karena adanya persamaan karakteristik seperti kesamaan hobi, kesamaan pandangan politik, kesamaan kepercayaan ataupun kesamaan etnis.
BRANDING COMMUNITIES
Salah satu tren
pemasaraan yang berkembang saat ini adalah strategi pemasaran melalui
komunitas. Disamping meningkatkan loyalitas, komunitas juga merupakan suatu
sarana bagi perusahaan untuk dapat sekaligus mendongkrak omset penjualan.
Saat ini kita
melihat bahwa perusahaan menjadikan komunitas sebagai sesuatu yang penting bagi
perusahaan mereka. Hal ini ditunjukkan dengan adanya program- program
keanggotaan klub atau klub konsumen yang merupakan contoh komunitas yang
dibentuk oleh produsen untuk meningkatkan hubungan mereka dengan konsumen
(Kartajaya, 2003). Berbeda dengan klub konsumen, komunitas konsumen terbentuk
karena adanya kebutuhan untuk bertukar pengetahuan dan berbagi pengalaman
mengenai produk dan merek yang sama. Komunitas konsumen yang dimaksud adalah
komunitas yang dapat memberikan kontribusi kepada produsen (Hasto Palupi,
2007).
Komunitas merek
awalnya lahir dari suatu istilah yang cetuskan oleh Boorstin (1973) dengan
konsep yang disebutnya dengan consumption community. Boorstin mengatakan
bahwa pada masa depan di era mobilitas tinggi, orang-orang tidak hanya melihat
pemukiman sebagai basis sense of community tetapi juga melihat adanya
perasaan komunal dari kebiasaan konsumsi. Adanya perasaan komunal ini
ditegaskan kembali oleh Goodwin (1997) yang menjabarkannya sebagai rasa
persahabatan dengan perbincangan santai, keterbukaan, dengan adanya kebiasaan
menolong antar sesama. Schiffman dan Kanuk (2000) berpendapat bahwa terdapat
beberapa faktor yang dapat menjadikan su- atu kelompok atau komunitas memiliki
kekuatan un- tuk mempengaruhi anggotanya, antara lain adalah karena faktor
pengalaman dan informasi, kredibilitas, atraktifitas, dan jenis produk yang
dikonsumsi komuni- tas itu sendiri.
Salah satu faktor
pendorong Perusahaan menggunakan komunitas adalah untuk membedakan pengguna
merek satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu komunitas ini bisa disebut
sebagai komunitas merek. Dalam komunitas merek, setiap anggota dapat memperoleh
manfaat atau nilai yang lebih yaitu mereka dapat mengetahui dan memahami merek
yang mereka gunakan, bertukar informasi dan pengalaman dengan anggota lainnya,
memperoleh jaringan yang lebih luas dengan tergabung dalam komunitas yang lebih
besar dalam cakupan nasional, serta dapat terhubung dengan perusahaan melalui
kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh perusahaan, sehingga manfaat diatas
bisa disebut sebagai nilai pelanggan.
Nilai lebih yang
dapat diperoleh dari merek produk tertentu bukan hanya sekedar dapat memenuhi
kebutuhan dasar pelanggan, melainkan produk dengan merek tersebut dapat
memenuhi kebutuhan aktualisasi diri konsumen dan sosialisasi, seperti melalui
komunitas untuk berinteraksi satu dengan yang lain sehingga terjalin hubungan
antara anggota dan terjadi pembentukan merek didalam komunitas tersebut.
Komunitas merek juga tidak terlepas dari interaksi antar anggotanya agar
memperkuat solidaritas komunitas merek tersebut. Sehingga melalui nilai tambah
tersebut perusahaan dapat menciptakan loyalitas pelanggan terhadap merek
tertentu serta dapat meningkatakan brand image konsumen terhadap perusahaan
atau merek yang mereka gunakan. (Yuswohady 2004)
Disisi lain
komunitas merek dapat menjadi sarana atau wahana untuk bertemu dengan orang
lain, membangun relationships, dan menemukan orang- orang yang memiliki satu
minat di mana konsumen saling berinteraksi (Yuswohady, 2004). Wahana tersebut
dikenal dengan komunitas.
Menurut muniz dan
o’guinn yang dimaksud dengan komunitas merek adalah “A brand community is a
specialized, non-geographically bound community, based on a structured set of
social relations among admirers of a brand.”[1]
maksudnya adalah komunitas yang memiliki spesialisasi tertentu atau
spesifik, merupakan komunitas yang tidak terbatas oleh batasan geografis,
berdasarkan hubungan sosial antar anggotanya yang menyukai merek tertentu.
Sementara menurut
Schouten dan Mc Alexander (1995) menjelaskan bahwa komunitas merek merupakan
sebagai kelompok sosial yang berbeda yang dipilih secara pribadi
berdasarkan pada persamaan komitmen terhadap kelas produk tertentu, merek dan
aktivitas konsumsi.[2]
Menurut mc
alexander, schouten dan koenig komunitas merek merupakan customer centric,
keberadaan dan arti dari komunitas tidak ter- pisahkan dari pengalaman konsumen
terhadap merek tersebut .[3] Komunitas merek juga tidak terlepas dari
interaksi antar anggotanya agar memperkuat soliditas komunitas merek.
Menurut resnick
marck (2001) mendefinisikan bahwa komunitas adalah suatu kesempatan bagi
pelanggan atau konsumen untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya untuk
mencapai tujuannya, meskipun biasanya Komunitas di urus oleh pelanggan atau
konsumen itu sendiri, tetapi ada juga yang dibentuk, didorong dan disponsori
oleh perusahaan.[4]
Muniz dan O’Guinn
(2001) menjelaskan bahwa terdapat beberapa Karakteristik dalam brand
Community diantaranya adalah:
a.
Online brand community bebas dari batasan ruang dan wilayah
b.
Komunitas dibangun dari produk atau jasa komersial
c.
Merupakan tempat saling berinteraki dimana setiap anggota memiliki budaya untuk
mendukung dan mendorong anggota lainnya untuk membagikan pengalaman bersama
produk yang mereka miliki
d.
Relatif stabil dan memiliki komitmen yang kuat karena tujuan
e.
Anggota komunitas memiliki identitas dengan level diatas rata-rata konsumen
awam karena mereka mengetahui seluk-beluk produk
Sifat-sifat utama
dari komunitas merek adalah
1.
Bersifat personal, tetapi kedekatan yang
terjalin lebih diakibatkan karena pelanggan menggunakan merek-merek tertentu
2.
Komunitas adalah sebuah alat untuk propagansi
merek oleh brand owner (pemilik brand) sehingga sebenarnya
keterikatan yang terjalin adalah keterikatan semu.
3.
Keterikatan antara pemilik dan merek dengan
pelanggan akan terputus bila ternyata pelanggan memutuskan untuk menggunakan
merek lain.
4.
Komunitas merek dibentuk dengan tujuan
mengikat loyalitas pelanggan melalui rasa kepemilikan merek.
Di pasar yang
kompetitif seperti sekarang ini, dengan makin hingar bingarnya media, tugas
membangun merek menjadi makin penting dan menantang dari sebelumnya.
Memanfaatkan sebuah komunitas merek — yang didefinisikan sebagai, ” masyarakat
yang terikat tidak berdasarkan geografis secara khusus, melainkan didasarkan
pada hubungan sosial terstruktur di antara pengagum merek” (Muniz & O’Guinn
2001) menjadi pendekatan yang efektif untuk membangun dan memelihara hubungan
konsumen-merek.
Hubungan masyarakat
pengguna merek, atau kelompok pengguna, dengan merek memiliki sejarah panjang.
Di Amerika Serikat misalnya, HOG (Grup pemilik Harley) dan kelompok pengguna
lainnya, akan menyediakan tempat bagi konsumen untuk berbagi pengalaman dan
informasi tentang merek, untuk memecahkan masalah, dan untuk memenuhi kebutuhan
rekan konsumen rekan dan perwakilan perusahaan. Kewajiban sosial dan hubungan
yang dibangun melalui komunitas merek di kalangan konsumen, serta antara pemasar
dan konsumen, memiliki implikasi yang signifikan bagi upaya pemasar yang
berusaha menumbuhkan loyalitas merek.
Munculnya internet
memungkinkan pengelola merek membangun keterikatan komunitas merek
non-geografis secara spontan di dunia maya. Kini pemasar makin menyadari
pentingnya komunitas merek virtual sebagai alat untuk membangun hubungan
konsumen-merek. Pemasar juga makin tertarik untuk membuat dan mengelola
komunitas virtual di internet mereka.
Pengertian Kelompok Referensi / Rujukan
Kelompok Referensi (Reference Group) atau
Kelompok Rujukan atau Kelompok Acuan merupakan sekelompok orang yang dianggap
memiliki pengaruh evaluasi, aspirasi, bahkan perilaku terhadap orang lain
secara langsung ataupun tidak langsung, dan dianggap sebagai pembandingan bagi
seseorang dalam membentuk nilai dan sikap umum/khusus atau pedoman khusus bagi
perilaku.
Kelompok referensi memberikan standar (norma
atau nilai) yang dapat menjadi perspektif penentu mengenai bagaimana seseorang
berfikir atau berperilaku, dan kelompok ini berguna sebagai referensi seseorang
dalam pengambilan keputusan.
Menurut Sumarwan (2003), kelompok referensi
(preference group) adalah seorang individu atau sekelompok orang yang secara
nyata mempengaruhi seseorang. Sedangkan menurut Kotler dan Keller (2000),
kelompok referensi sebagai kelompok yang mempunyai pengaruh langsung maupun
tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang. Dan menurut Herbet H.
Hyman, kelompok acuan didefinisikan sebagai orang atau kelompok orang yang
mempengaruhi secara bermakna suatu perilaku individu.
Pada awalnya kelompok acuan dibatasi secara
sempit dan hanya mencakup kelompok-kelompok dengan siapa individu berinteraksi
secara langsung (keluarga dan teman-teman akrab). Tetapi konsep ini secara
berangsur-angsur telah diperluas mencakup pengaruh perorangan atau kelompok
secara langsung maupun tidak langsung. Kelompok acuan tidak langsung terdiri
dari orang-orang atau kelompok yang masing-masing tidak mempunyai kontak
langsung, seperti para bintang film, pahlawan olahraga, pemimpin politik,
ataupun orang yang berpakain baik dan kelihatan menarik di sudut jalan
(Schiffman, Leon G. and Kanuk, Leslie Lazar, 2000). Kelompok referensi
merupakan hal yang sangat penting dan ide yang berpengaruh besar dalam Perilaku
konsumen. Sebab, kelompok referensi adalah setiap orang atau kelompok yang
dianggap sebagi perbandingan (referensi) bagi seseorang dalam membentuk
nilai-nilai umum atau khusus, atau dalam berperilaku. Dari perspektif
pemasaran, kelompok referensi merupakan kelompok yang dianggap sebagai dasar
referensi bagi seseorang dalam menentukan keputusan pembelian atau konsumsi
mereka.
Jenis Kelompok Rujukan :
Sumarwan (2003) menggolongkan kelompok
referensi berdasarkan posisi dan fungsinya:
1.
Kelompok Formal, yaitu kelompok yang memiliki struktur organisasi secara
tertulis dan keanggotaannya terdaftar secara resmi. Contohnya, Serikat Pekerja
Indonesia, Universitas dll.
2.
Kelompok Informal, yaitu kelompok yang tidak memiliki struktur
organisasi secara tertulis dan keanggotaannya tidak terdaftar secara resmi.
Contohnya, kelompok bermain futsal, kelompok arisan dll.
3.
Kelompok Aspirasi, yaitu kelompok yang memperlihatkan keinginan untuk
mengikuti norma, nilai, maupun perilaku dari orang lain yang dijadikan kelompok
acuan. Anggota kelompok aspirasi tidak harus menjadi anggota dalam kelompok
referensinya, atau antar anggota aspirasi tidak harus menjadi anggota kelompok
referensinya dan saling berkomunikasi. Contoh, anak-anak muda yang mengikuti
gaya berpakaian para selebriti Korea atau Amerika.
4.
Kelompok Disosiasi, yaitu seseorang atau kelompok yang berusaha
menghindari asosiasi dengan kelompok referensi.
Pengaruh Kelompok Rujukan
Strategi Marketing Berdasarkan Pengaruh
Kelompok Rujukan
Personal Selling Strategies
·
The Asch Phenomenon
Dapat didefinisikan sebagai efek dari kelompok acuan pada
pengambilan keputusan individual yang terjadi karena tekanan yang dirasakan
untuk menyesuaikan diri dengan pendapat yang dinyatakan oleh anggota kelompok.
·
Keberadaan Lingkungan
Advertising Strategies
·
Pengaruh Normatif
Pengaruh normatif adalah pengaruh dari kelompok
acuan terhadap seseorang melalui norma-norma sosial yang harus dipatuhi dan
diikuti. Pengaruh normatif akan semakin kuat terhadap seseorang untuk mengikuti
kelompok acuan, jika ada tekanan kuat untuk mematuhi norm-norma yang ada,
penerimaan sosial sebagai motivasi kuat serta produk dan jasa yang dibeli akan
terlihat sebagai simbol dari norma sosial.
Seorang konsumen cenderung akan mengikuti apa yang
dikatakan atau disarankan oleh kelompok acuan jika ada tekanan kuat untuk
mengikuti norma-norma yang ada. Pengaruh semakin kuat jika ada sanksi sosial
bagi konsumen yang tidak mengikuti sara dari kelompok acuan. Seorang bawahan
ada kewajiban atau norma untuk meminta izin kepada atasannya, jika ia ingin
melakukan sesuatu yang berkaitan degan pekerjaannya. Seorang anak akan minta
persetujuan orang tuanya jika ia ingin memeli suatu produk yang berharga mahal.
Jika si anak tidak melakukannya, orang tua mungkin akan memberikan sanksi
sosial atau teguran bahkan hukuman kepada si anak.
Seorang konsumen mungkin memiliki motivasi kuat
untuk mengikuti perilaku kelompok acuannya, karena adanya keinginan untuk
diterima oleh kelompok acuan tersebut. Seorang anak berusaha belajar bagaimana
bermain gitar, karena adanya keinginan untuk bisa bergabung dengan
teman-temannya yang pandai bermain gitar. Si anak berusaha bisa melakukan apa
yang dilakukan kelompok acuannya agar bisa diterima oleh kelompok acuannya.
Motivasi untuk mematuhi norma seringkali tidak
cukup kuat untuk mempengaruhi perilaku seseorang kecuali jika produk dan jasa
yang akan dibeli menggambarkan publicly conspicuous (produk yang terlihat
pemakaiannya oleh orang lain, misalnya mobil, rumah, pakaian) dalam pembelian
dan penggunaannya. Jika produk dan jasa yang dibeli akan terlihat oleh publik
atau orang lain dalam pemakaiannya, maka konsumen akan berusaha mematuhi
norma-norma yang diarahkan oleh kelompok acuan tersebut. Karena produk dan jasa
yang dibeli akan menggambarkan citra diri konsumen tersebut.
·
Pengaruh Identifikasi / Ekspresi Nilai
Kelompok acuan akan mempengaruhi seseorang melalui
fungsinya sebagai pembawa eksprsesi nilai. Seorang konsumen akan membeli
kendaraan mewah dengan tujuan agar orang lain bisa memandangnya sebagai orang
yang sukses atau kendaraan tersebut dapat meningkatkan citra dirinya. Konsumen
tersebut merasa bahwa orang-orang yang memiliki kendaraan mewah akan dihargai
dan dikagumi oleh orang lain. Konsumen memiliki pandangan bahwa orang lain
menilai kesuksesan seseorang dicirikan oleh pemilikan kendaraan mewah, karena
itu ia berusaha memiliki kendaraan tersebut agar bisa dipandang sebagai
seseorang yang telah sukses.
·
Pengaruh Informasi
Kelompok acuan akan mempengaruhi pilihan produk
atau merek dari seorang konsumen karena kelompok acuan tersebut sangat
dipercaya sarannya karena ia memiliki pengetahuan dan informasi yang lebih
baik. Seorang dokter adalah kelompok acuan bagi para pasiennya. Pasien
menganggap bahwa dokter memiliki pengetahuan dan inforamasi yang dipercaya,
selain itu secara sosial dan peraturan dokter adalh profesi yang memiliki
otoritas dalam membuat resep obat.
Faktor yang Mempengaruhi
Kekuatan Pengaruh Kelompok Acuan (referensi)
Besar kecilnya pengaruh
yang diberikan oleh kelompok acuan terhadap perilaku individu biasanya
tergantung dari sifat-sifat dasar individu, produk yang ditawarkan, juga pada
faktor-faktor social yang spesifik.
a.
Informasi tentang produk dan pengalaman menggunakan produk tersebut
Seseorang yang telah pengalaman langsung dengan produk atau jasa, memperoleh
informasi lengkap tentang hal itu, mungkin dipengaruhi oleh saran atau contoh
orang lain. Dalam iklan hampir selalu ditampilkan bahwa si sumber komunikasi,
yang adalah kelompok acuan, memang sudah pernah menggunakan/mengkonsumsi produk
atau jasa yang ditawarkan dan mereka puas.
b.
Kredibilitas, daya tarik, dan kekuatan kelompok acuan. Sebuah kelompok
acuan yang dianggap kredibel, menarik, atau kuat dapat menginduksi sikap
konsumen dan perubahan perilaku. Sebagai contoh, ketika konsumen memperhatikan
dengan memperoleh informasi yang akurat tentang kinerja atau kualitas suatu
produk atau jasa, mereka akan dipengaruhi oleh orang-orang yang mereka anggap
sebagai orang yang terpercaya dan berpengetahuan.
c.
Sifat produk yang menonjol secara visual atau verbal. Produk
yangmenonjol secara visual maupun verbal adalah produ-produk yang dikonsumsi
didepan umum dan juga produk yang ekslusif seperti barang-barang mewah.
d.
Dampak kelompok acuan terhadap produk dan pilihan merek, terutama yang
meyangkut reward power dan social power Di beberapa kasus, untuk beberapa
produk, kelompok acuan mungkin kelompok acuan dapat mempengaruhi kategori
produk baik seseorang dan pilihan merek (atau tipe). Seperti produk yang
disebut produk plus, merek barang plus. Di kasus yang lain, kelompok acuan
mempengaruhi hanya produk kategori keputusan.
e.
Besar kecilnya risiko yang dipersepsi konsumen bila dia menggunakan
produk tersebut. Semakin besar resiko yang dipersepsi, semakin besar
pengaruhkelompok acuan yang sengaja dicari. Orang yang ingin membeli mobil akan
bertanya dan terus mencari informasikarena dia mempersepsi risiko yang tinggi
(hargamahal dan dia bukan ahli mesin).
Klasifikasi kelompok dan
karakteristik komunikasinya.
Berikut beberapa klasifikasi kelompok dan
karakteristik komunikasinya menurut para ahli :
Kelompok primer dan
sekunder.
Charles Horton Cooley
pada tahun 1909 (dalam Jalaludin Rakhmat, 1994) mengatakan bahwa kelompok
primer adalah suatu kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan akrab,
personal, dan menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. Sedangkan kelompok
sekunder adalah kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan tidak akrab, tidak
personal, dan tidak menyentuh hati kita.
Jalaludin Rakhmat
membedakan kelompok ini berdasarkan karakteristik komunikasinya :
Ø Kualitas komunikasi pada
kelompok primer bersifat dalam dan meluas. Dalam, artinya menembus kepribadian
kita yang paling tersembunyi, menyingkap unsur-unsur backstage (perilaku
yang kita tampakkan dalam suasana pribadi saja). Meluas, artinya sedikit sekali
kendala yang menentukan rentangan dan cara berkomunikasi. Pada kelompok
sekunder komunikasi bersifat dangkal dan terbatas.
Ø Komunikasi kelompok
primer lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi, sedangkan kelompok
primer adalah sebaliknya.
Ø Komunikasi kelompok
primer cenderung informal, sedangkan kelompok sekunder formal.
Ø Komunikasi pada kelompok
primer bersifat personal, sedangkan kelompok sekunder nonpersonal.
Ø Komunikasi kelompok
primer cenderung ekspresif, sedangkan kelompok sekunder instrumental.
v Kelompok keanggotaan dan
kelompok rujukan.
Theodore Newcomb (1930)
melahirkan istilah kelompok keanggotaan (membership group) dan kelompok
rujukan (reference group). Kelompok keanggotaan adalah kelompok yang
anggota-anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota kelompok itu.
Sedangkan kelompok rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur
(standard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap. Menurut teori, kelompok
rujukan mempunyai tiga fungsi: fungsi komparatif, fungsi normatif, dan fungsi
perspektif.
Kelompok rujukan/acuan (reference group)
adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standar) untuk menilai diri
sendiri atau untuk membentuk sikap. Grup referensi melibatkan satu atau lebih
orang yang dijadikan sebagai dasar pembanding atau titik referensi dalam
membentuk tanggapan afeksi dan kognisi serta meyatakan perilaku seseorang. Grup
referensi ukurannya beragam (dari satu hingga ratusan orang), dapat memiliki
bentuk nyata (orang sebenarnya), atau tak nyata dan simbolik ( eksekutif yang
berhasil atau bintang olahraga). Grup referensi seseorang dapat berasal dari
kelas sosial, subbudaya, atau bahkan budaya yang sama atau berbeda
Kelompok deskriptif dan
kelompok preskriptif
John F. Cragan dan David
W. Wright (1980) membagi kelompok menjadi dua: deskriptif dan peskriptif.
Kategori deskriptif melihat proses pembentukan kelompok secara alamiah.
Berdasarkan tujuan, ukuran, dan pola komunikasi, kelompok deskriptif dibedakan
menjadi tiga:
· kelompok tugas.
· kelompok pertemuan.
· kelompok penyadar.
Kelompok tugas bertujuan
memecahkan masalah, misalnya transplantasi jantung, atau merancang kampanye
politik. Kelompok pertemuan adalah kelompok orang yang menjadikan diri mereka
sebagai acara pokok. Kelompok terapi di rumah sakit jiwa adalah contoh kelompok
pertemuan. Kelompok penyadar mempunyai tugas utama menciptakan identitas sosial
politik yang baru.
Kelompok preskriptif,
mengacu pada langkah-langkah yang harus ditempuh setiap anggota kelompok dalam
mencapai tujuan kelompok. Cragan dan Wright mengkategorikan enam format
kelompok preskriptif, yaitu: diskusi meja bundar, simposium, diskusi panel,
forum, kolokium, dan prosedur parlementer.
Virtual community diasumsikan sebagai
sekumpulan orang - orang yang melakukan teraksi secara online (internet) yang
didasari pada antusias yang besar terhadap pengetahuan yang lebih spesifik
mengenai aktivitas yang biasa mereka lakukan.
Komunitas Online
merupakan komunitas yang disatukan oleh kesamaan pekerjaan, hobi, atau faktor
penyatu lainnya, dimana media integrasi dan komunikasinya menggunakan internet;
• Komunitas Online tidak mengandalkan pertemuan langsung secara fisik. Komunitas online bisa menjadi komunitas
primer ataupun sekunder.
Model Komunitas Online
·
Konten: artikel, informasi, dan berita tentang topik yang menarik bagi
sekelompok orang
·
Forum atau newsgroup dan email: sehingga anggota komunitas Anda dapat
berkomunikasi dalam mode tertunda
·
Chat dan instant messaging: sehingga anggota masyarakat dapat
berkomunikasi dengan lebih segera
Siklus Keanaggotaan
·
Peripheral (Lurker) - Mengamati masyarakat
dan melihat konten. Tidak menambah isi masyarakat atau diskusi
·
Inbound (Novice) - Mulai melibatkan diri
dalam komunitas. Mulai untuk menyediakan konten. Sementara berinteraksi dalam
beberapa diskusi. Berkomentar dan posting
·
Insider (Regular) - Secara konsisten
menambah konten dan melakukan diskusi komunitas. Berinteraksi dengan pengguna
lain. Secara teratur posting.
·
Boundary (Leader) - Diakui sebagai peserta
veteran. Menghubungkan partisipan dengan
membuat ide-ide konsep. Partisipan mengakui pertimbangan pendapat mereka. Sering
mengkoreksi pengguna yang dianggap tidak pantas
·
Outbound (Elder) – Meninggalkan komunitas untuk berbagai alasan.
Minat telah berubah. Komunitas telah bergerak ke arah yang dia tidak setuju
dengan. Kurangnya waktu. Pengguna mendapat pekerjaan baru yang memakan waktu
terlalu banyak untuk mempertahankan kehadiran konstan dalam komunitas.
Word of Mouth
Pada satu dekade terakhir,
muncul fenomena penggunaan word of mouth
marketing sebagai salah satu upaya produsen untuk mengkomunikasikan
produknya kepada konsumen. Menurut Word
of Mouth Marketing Association (WOMMA),
word of mouth adalah komunikasi dari orang ke orang antara sumber pesan dan
penerima pesan dimana penerima pesan menerima pesan dengan cara tidak komersial
mengenai suatu produk, pelayanan atau merek. Fenomena word of mouth marketing
diyakini mampu memotivasi kuantitas pembelian konsumen, bersifat efisien karena
tidak memerlukan anggaran yang besar, menciptakan citra positif bagi produk
serta mampu menyentuh hati konsumen. Efektifitas dari penggunaan word of mouth
marketing dengan mengkomunikasikan tema yang menjadi buah bibir pada word of
mouth marketing kepada komunitas yang terkait erat dengan brand yang
dipasarkan. Fenomena word of mouth
diyakini bisa mendorong pembelian oleh konsumen, bisa mempengaruhi komunitas,
efisien karena tidak memerlukan budget
yang besar (low cost), bisa
menciptakan image positif bagi
produk, dan bisa menyentuh emosi konsumen.
Keberadaan dari word of mouth wajib diperhatikan oleh
tim pemasaran perusahaan dalam menyusun strategi pemasarannya. Karena selama
bertahun-tahun, iklan melalui media massa berhasil dan mampu menginterupsi
orang, tetapi hal tersebut membutuhkan budget
yang tidak sedikit. Berdasarkan hasil survey Global Online Consumer Study (2009) yang dilakukan oleh lembaga
riset Nielsen, menunjukkan bahwa sembilan dari sepuluh konsumen (90 persen)
mempercayai rekomendasi mengenai pembeliansuatu produk dari orang – orang yang
mereka kenal, dan tujuh dari sepuluh konsumen (70 persen) mempercayai
rekomendasi atau testimoni dari pelanggan yang terpercaya. Konsumen sebagai
sasaran penjualan sebuah produk sebetulnya memang memiliki potensi yang besar
untuk memasarkan produk yang dipasarkan.Bagaikan virus yang dapat melakukan
penyebaran sangat cepat yang semula hanya diawali oleh satu orang yang memiliki
jaringan luas, dapat memberikan pengaruh terhadap pemasaran sebuah
produk.Dengan melihat kekuatan pengaruh pemasaran dari mulut ke mulut, produsen
sebuah produk perlu untuk lebih fokus dalam menjalankan “Word of Mouth Marketing”.Membuat para pelanggan membicarakan (do the talking), mempromosikan (do the promotion) dan menjual (do the selling).
Harley-Davidson memberikan
contoh klasik. Setelah 1985 melakukan leveraged buyback yang menyelamatkan
perusahaan, manajemen merumuskan strategi bersaing dan model bisnis yang
didasarkan pada filosofi komunitas merek. Tidak hanya mengubah program
pemasaran, Harley-Davidson retooled setiap aspek dalam organisasi – mulai dari
budaya prosedur operasi hingga struktur tata kelola – untuk mendorong strategi
komunitasnya.
Manajemen Harley mengakui bahwa merek Harley telah berkembang menjadi sebuah merek fenomenal yang berbasis komunitas. “Persaudaraan” pengendara, yang disatukan oleh etos bersama, ditawarkan Harley sebagai dasar untuk melakukan reposisi sebagai satu produsen sepeda motor yang dipahami para bikers menurut istilah mereka sendiri. Untuk memperkuat posisi komunitas-sentris ini dan memantapkan hubungan antara perusahaan dan pelanggan, semua staf Harley menjadi semacam relawan pada setiap event komunitas.
Manajemen Harley mengakui bahwa merek Harley telah berkembang menjadi sebuah merek fenomenal yang berbasis komunitas. “Persaudaraan” pengendara, yang disatukan oleh etos bersama, ditawarkan Harley sebagai dasar untuk melakukan reposisi sebagai satu produsen sepeda motor yang dipahami para bikers menurut istilah mereka sendiri. Untuk memperkuat posisi komunitas-sentris ini dan memantapkan hubungan antara perusahaan dan pelanggan, semua staf Harley menjadi semacam relawan pada setiap event komunitas.
Consumer and Subculture
Konsep pengembangan riset pemasaran
saat ini bukan hanya melakukan analisis target market berdasarkan
identifikasi jenis kelamin, usia, pekerjaan ataupun demografi tempat tinggal,
namun lebih spesifik lagi mengarah pada subkultur yang berdasarkan pada pendapatan,
kelas sosial, etnik, ras, dan agama.
Arus mobilisasi yang berkembang
pesat menyebabkan pertumbuhan signifikan pada masyarakat pendatang. Demografis
suatu Negara saat ini hampir di huni oleh berbagai kelas sosial serta etnik,
ras dan agama yang majemuk. Di satu sisi kelas sosial merupakan bagian dari
subkultur yang menentukan perilaku atau tindakan konsumen terhadap produk
barang/jasa. Sedangkan di sisi lain semakin maju sebuah Negara atau daerah maka
semakin tinggi daya jual daerah tersebut untuk menarik pendatang tinggal dan
hidup di sana.
Misalnya, seperti klub mobil VW, berbagai
usia, menyukai segala product VW, setiap akhir pekan konvoi atau hangout
bersama. Kadang kala membuat even – even tertentu yang menunjukan
ke-eksistensian anggotanya. Mereka memiliki identitas yang kuat pada sesama
anggota kelompoknya. Hal tersebut terbukti dari keaktifan mereka dalam kegiatan
kelompok dan stiker lambang kelompok yang tertempel jelas di mobil setiap
anggotanya serta baju seragam yang mereka kenakan setiap event –event tertentu.
Selain itu, dijual pula berbagai marcandise VW yang laris dibeli anak –
anak pecinta VW. Mikrokultur yang mencerminkan kepentingan bersama dalam
beberapa organisasi atau kegiatan mempengaruhi apa yang mereka beli.
Subkultur sebagai segmentasi konsumen
Consumer Spending and Economic Behavior
Misalnya produk tas-tas bermerek Zara, Chanel
menyasar pada kalangan sosialita yang dalam ukuran pendapatan ekonominya
dikategorikan menengah ke atas. Segmentasi yang dilakukan produsen tas tersebut
tentu tidak akan ditujukan pada kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Ethnic and Racial Subcultures
Identitas etnik dan agama merupakan komponen
signifikan dalam membentuk konsep diri konsumen. Pada masyarakat
heterogen seperti di Indonesia dengan banyak culture mereka berupaya untuk
menjaga ke-eksistensian subculturenya dari masyarakat dominan.
Melihat hal ini marketer tidak bisa mengelak
bahwa masyarakat minoritas dengan subkultur berdasarkan Ras dan etnis serta
agama merupakan market potensial untuk disasar. Contohnya di Jogja dalam
industri kuliner terdapat banyak restaurant dengan menu makanan khas seperti
masakan manado, ikan bakar makasar, mie aceh, masakan timur, bahkan makanan
Korean, jepang juga ikut meramaikan industry kuliner di Jogja . Mayoritas
pengunjung sebagian besar adalah masyarakat dari daerah tersebut. Namun makanan
daerah tersebut juga popular dikalangan konsumen “luar” hal ini disebabkan
karena rasa makanan tersebut dapat mudah di terima oleh lidah
konsumen “luar”. Selain itu dengan membawa keunikan suatu etnik tertentu pada
sebuah produk akan menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen untuk mencoba
produk.
Etnis China adalah salah satu populasi
terbesar di Indonesia, oleh sebab itu pasar China dianggap potensial sebagai sarana
marketer. Tidak jarang produk –produk tertentu seperti sido muncul, selalu
ambil bagian dalam promosi pada even –event masyarakat Tiongha.
Selain itu, menyasar subkultur tertentu juga
dapat melalui media – media etnis atau comunitas. Survei menunjukkan bahwa
anggota kelompok etnis mendapatkan banyak informasi produk mereka dari media
etnis khusus.
Nilai dan Sikap Kolektif dalam Subkultur
Sikap kolektif yang ditunjukan dalam
perspektif kelas sosial serta berdasarkan penghasilan terlihat pada bagaimana
ketika pekerja yang bekerja dalam lingkungan kelas sosial yang sama, dan
penghasilan yang sama pula, akan cenderung menunjukan budaya kolektif baik
dalam berbagi ide, konsumsi barang, serta berpeluang dalam hal mencari pasangan
di lingkungan yang ada.
Misalnya, ketika beberapa kelompok eksekutif
atau karyawan bank bersosialisasi satu sama lain. Makan cara pandang dalam
sikap mengkonsumsi barang atau produk akan cenderung sama. Karena individu
tersebut memiliki nilai dan pemahaman yang sama terhadap simbol yang ada dalam
barang tersebut. Seperti membeli peralatan make up untuk kebutuhan pekerjaan,
akan didukung oleh nilai-nilai yang ada terhadap bagaimana peralatan make up
yang baik digunakan dalam ruang lingkup pekerjaan mereka.
Etnicity and Marketing Strategies
Marketer harus mempertimbangkan segmentasi
pasar berdasarkan subkultur target market yang didasari oleh ras, etnik dan
agama. Kebutuhan dan keinginan dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh
keanggotaannya dalam subkultur tertentu, faktor tersebut mempengaruhi perilaku
konsumen. Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat minoritas cenderung lebih
percaya pada endoser iklan dari kelompok mereka sendiri. Kepercayaan ini tentu
akan meningkatkan kredibilitas dan pada akhirnya sikap yang positif kepada
produk.
Dalam membuat strategi pesan, pemasar harus
memikirkan mengenai bagaimana subkultur berkomunikasi. Dalam perspektif
budaya terdapat dua kategori budaya, yaitu high-context dan low context. Pada
masyarakat dengan budaya high context atau kontek budaya tinggi cenderung
memiliki suatu tingkat kompleksitas nilai dan budaya tinggi. Hal ini dapat
dilihat dari rumitnya hubungan antar anggota di dalamnya sebab masing-masing
anggota itu berlaku nilai budaya dan pranata yang menjadi ciri khas konteks
masyarakat tersebut. Sebaliknya kategori masyarakat dengan konteks budaya
rendah lebih memiliki kebebasan dalam berhubungan antar anggotanya. Nilai-nilai
yang berlaku pada konteks budaya rendah tidak serumit pada masyarakat konteks
budaya tinggi. Hal ini terjadi di Indonesia, misalnya orang Jawa yang penuh
basa –basi, tatakrama, (high-context) berbeda dengan orang Jakarta yang lebih
terbuka, ceplas –ceplos dan “semau gue” (low context). Begitu juga dalam
mengintepretasikan sebuah pesan iklan. Biasanya budaya high contex akan lebih
sensitive dengan symbol, gerak tubuh dan nilai yang terkandung dalam sebuah
iklan.
Is Ethnicity a moving target
Mengidentifikasi segmen berdasarkan subkultur
ras, etnis dan agama pada masyarakat yang sangat majemuk tidaklah mudah.
Kadangkala saat memasarkan suatu produk berdasarkan segmentasi ras, etnis atau
agama akan mendapat kesan negatif atau perlawanan dari ras ,etnis atau agama
yang lainnya. Strategi produk yang dipasarkan dengan subkultur etnis tidak
selalu dimaksudkan untuk konsumsi hanya pada subkultur etnis tersebut. Namun
dapat mengacu pada nilai atau identitas produk yang terkait dengan
keunikan dan kelebihan etnis tertentu. Atau bahkan sebagai konsep kreatif iklan
untuk menarik audiens.
Misalnya “iklan sajojo “kuku bima”
segmentasinya bukan hanya pada masyarakat atau subkultur papua. Namun
keperkasaan, ketangguhan etnik papualah yang ingin disampaikan. Begitu juga
dengan iklan lainnya yang merepersentasikan suatu subkultur etnis tertentu.
Akulturasi dan The Progressive Learning Model
Pada dasarnya suatu
produk dari negara atau daerah asing dapat diterima oleh budaya tetentu melalui
sebuah proses akulturasi yaitu suatu proses
sosial
yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu
kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu
sendiri. Akulturasi terjadi dipengaruhi oleh agen akulturasi yaitu keluarga,
teman, organisasi dan media. Produk makanan cepat saji dapat diterima dengan
baik oleh konsumen Indonesia karena kemampuannya dalam berakulturasi dengan
budaya masyarakat Indonesia. Dapat dilihat dengan adanya farian nasi, berkedel
pada paket yang disediakan tanpa menghilangkan produk aslinya yaitu burger,
hotdog, sandwich, dll. Hal tersebut dilakukan dengan metode yang disebut the
progressive learning model, teori ini berasumsi bahwa orang secara bertahap
belajar budaya baru karena sering melakukan kontak atau berinteraksi dengan
budaya tersebut. Ketika mereka mulai menyesuaikan diri, budaya aslinya
akan berbaur dengan budaya yang baru, namun konsumen cenderung lebih
mempertahankan budaya aslinya.
Religion and Consumption
Dewasa ini pemasar
semakin menggunakan tema – tema keagamaan dan spiritual saat menyapa
konsumen.Sebelumnya strategi pemasaran dengan unsur agama dan spiritual sangat
dihindari namun saat ini hal tersebut telah berubah seiring kebutuhan dan
keinginan pasar yang ingin lebih disasar secara segmented. Meskipun belum ada
teori yang secara ekplisit ada kaitannya pengaruh agama pada perilaku konsumen,
namun kenyataannya banyak produk dipasaran yang sudah mengarah pada
fenomena ini.
Subkultur agama
berdampak pada variable konsumen seperti kepribadian, sikap terhadap gender,
tingkat kelahiran, membentuk rumah tangga, pendapatan bahkan sikap politik.
Para pemimipin atau organisasi keagamaan dapat mendorong atau mencegah konsumen
dalam menggunakan beberapa produk. Saat MUI menyatakan suatu produk
mengandung minyak babi dan tidak halal maka sebagian besar konsumen islam pasti
akan menghentikan penggunaan produk tersebut.
Mass Communication
Information Flows
Direct Flow (
Two-Step flow of communication)
Menjelaskan beberapa aspek dalam kelompok, namun terlalu sederhana untuk
kebanyakan alur komunikasi. Dari gambar
diatas menjelaskan bahwa direct flow of information dari perusahaan kepada
konsumen dengan yang lebih realistik multistep flow of mass communications.
The Multi Step Flow of Communication melibatkan opinion leaders untuk area produk
tertentu yang aktif mencari informasi yang relevan dari media massa serta
sumber lainnya. Opinion Leaders ini
memproses informasi dan mengirimkan
interpretasi untukbeberapa anggota
kelompok mereka. Anggota kelompok ini juga menerima informasi darimedia massa
maupun dari anggota kelompok yang bukan Opinion Leaders. Dan gambar diatas juga
menunjukkan bahwa para pemimpin non-opini ini sering melakukan permintaan informasi
dan pasokan umpan balik kepada para pemimpin opini.Demikian juga, pemimpin
opini menerima informasi dari pengikut
mereka serta dari pemimpin opini lain. Perhatikan bagaimana media sosial
memfasilitasi proses aliran multi langkah ini secara online.
SITUATIONS IN WHICH WOM AND OPINION LEADERSHIP OCCUR
WOM terjadi
ketika :
·
Terjadi secara langsung ketika individu
mencariinformasikepada oranglain.
·
Ketika seorang individu secara sukarela memberikan
informasi.
Likelihood of Seeking an Opinion Leader
Product/purchase
Involvement
|
Product Knowledge
|
|
High
|
Low
|
|
High
|
Moderate likelihood
|
High likelihood
|
Low
|
Low likelihood
|
Moderate likelihood
|
CHARACTERISTIC
OF OPINION LEADER
·
Mampu terlibat
secara aktif untuk menambah pengetahuan tentang kategori produk danpengalaman
yang dirasakan.
·
Aktifitas dalam
memberikan informasi yang dilakukan sering kali terjadi diantara individudengan
karakteristik demografis yang sama
·
Friendly
·
Mempunyai tingkatan
yang lebih tinggi untuk di ekspose oleh media yang relevan (media yang fokus
diwilayah yang relevan dengan pengetahuan yang dimilikinya dan memberikan
solusi untuk mengidentifikasi sebagian masalah
•
Konsumen yang tidak
hanya terfokus pada satu kategori produk karena mereka memiliki ketertarikan
pada jenis produk lain. Tipe konsumen ini dapat menerima segala jenis
informasi, mereka tidak mementingkan tertarik pada satu jenis produk dan tidak
juga terdepan dalam melakukan pembelian dalam satu produk, pembelian sesuatu
produk sesuai dengan kebutuhan mereka.
•
Seseorang bisa menjadi
opinion leader pada suatu produk tertentu tetapi bisa menjadi opinion seekers
untuk produk lain.
•
Memiliki kecenderungan
untuk selalu mengetahui informasi produk baru.
•
Mereka mengunakan
berbagai macam media untuk berbagi informasi dengan yang lain.
•
Dalam memberikan
pengaruh cenderung pada kelompok atau individu dengan demografis yang sama.
•
Mereka memberikan
informasi tentang kualitas produk, cara penjualan, harga, ketersediaan produk,
karakteristik, karyawan toko dan informasi lain yang relevan.
Influentials
•
Menggeneralisasikan
pengaruh pasar melalui media cetak
•
Mengajak masyarakat
umum untuk menggunakan rekomendasi dari WOM.
E-influentials
•
Mempengaruhi keputusan
konsumen melalui internet.
•
Aktif menggunakan
internet untuk mengumpulkan dan menyebarkan informasi secara online.
FACTOR AFFECTING THE
SPREAD OF INNOVATIONS
•
Type of groups
•
Type of decision
•
Marketing effort
•
Relative advantage
•
Complexity
•
Observability
•
Fullfillment of felt need
•
Compatibility
•
Trialability
•
Perceived risk
MARKETING STRATEGY, WOM
AND OPINION LEADERSHIP
•
Iklan harus mampu membangkitkan
hal-hal yang menarik dan merangsang/mendorong WOM, mengunakan pengakuan OL.
•
Kelompok konsumen yang
berpotensi untuk menjadi OL, Sales person (WOM) Menggunakan style leader dari
target market, misalnya, menggunakan icon untuk menambah dayatarik.
•
Pengembangan dari WOM
(gerilya marketing, iklan di film, sponsor suatu acara).
FACTOR
AFFECTING THE SPREAD OF INNOVATIONS
A. Inovasi
dan difusi inovasi
Empat
kata kunci dalam proses difusi inovasi adalah:
1. Inovasi
Inovasi adalah
produk atau jasa yang dipersepsi oleh konsumen sebagai produk atau jasa baru. Derajat
kebaruan produk dibedakan antara:
a. Produk
yang sebelumnya belum pernah ada dimanapun.
b. Lini
produk baru
c. Produk
dengan inovasi simbolik yang mengkomunikasikan arti social yang barubagi produk
yang bersangkutan
d. Produk
dengan inovasi teknologi yang memberikan perubahan fungsional pada produk
semula.
e. Inovasai
dalam bidang ritel seperti yang dilakukan dalam pelbagai macam bentuk
multilevel marketing.
f. Inovasi
atau produk baru juga dijelaskan dari sudut pandang orientasi pengguna produk.
Kategori
Inovasi
•
Continuous innvation : Jenis
ini secara relatif membutuhkan perubahan perilaku yang kecil atau perubahan
perilaku yang tidak penting bagi konsumen.
•
Dinamically Continuous
Innovation : Memerlukan perubahan yang sedang pada perilaku yang penting bagi individu.
•
Discontinuous
innovation : Memerlukan perubahan besar pada perilaku individu/kelompok.
2. Difusi
Difusi
inovasi adalah proses dimana produk baru, jasa, maupun ide baru (atau suatu
inovasi) menyebar melalui komunikasi keanggota anggota system social atau
populasi dalam jangka waktu tretentu.
3. Difusi
melalui jalur komunikasi
Kecapatan
penyebaran inovasi produk tergantung pada komunikasi antara pemasar dan
konsumen, dan juga komunikasi antar konsumen itu sendiri. Dampak dari semua ini
adalah apakah produk bisa diterima atau ditolak. Innovator dan early adopters,
yaitu orang yang lebih cepat menerima inovasi, berperan besar sebagai perantara
komunikasi kepada later adopter. Inovator dan early adopter berfungsi sebagai
pemimpin pendapat yang menyebarkan informasi kepada konsumen dan mempengaruhi
keputusan beli mereka. Kecepatan difusi sangat ditentukan oleh keberadaan dan
kecanggihan system dan jalur komunikasi di suatu pasar.
4.
Difusi melalui system
social
Difusi produk
baru terjadi didalam latar belakang social yang sering disebut sebagai system
social. System social adalah lingkungan fisik, social, atau budaya, dimana
seorang hidup dan berfungsi. Suatu system social memiliki nilai-nilai dan norma
yang berbeda dari systemsosial yang lain. Nilai-nilai dan norma itu
mempengaruhi anggota-anggota system social itu dalam halkesediaan mereka untuk
menerima suatu inovasi. System social tradisional yang lebih lambat menerima inovasi
daris pasda system social yang modern. Pemasar harus berorientasi pada system
social dalam memperkenalkan produk baru sehingga dapat dighunakan strategi yang
mengena untuk system social tersebut.
5.
Difusi melalui waktu
Waktu merupaka
tulang punggung proses difusi. Waktu selalu diperhitungkan dalam tiga cara yang
berbeda untuk menjelaskan difusi dan tidak berhubungan satu dengan yang lain.
a. Waktu
membeli; asdalah jangka waktu yang dihabiskan dari awal mula konsumen menyadari
akan keberadaan produk sampai waktu dia membeli atau menolak produk tersebut.
b. Identifikasi
kategoti adaptor mencakup; innovator, early adopter, early majority, late
majority dan laggards.
c. Kecepatan
adopsi; adalah seberapa cepat produk baru diadopsi oleh anggota dari suatu system
social.
ADOPSI
Tahapan peristiwa yang
menciptakan proses difusi
1. Mempelajari Inovasi:
Tahapan ini merupakan tahap awal ketika masyarakat mulai melihat, dan mengamati
inovasi baru dari berbagai sumber, khususnya media massa. Pengadopsi awal
biasanya merupakan orang-orang yang rajin membaca koran dan menonton televisi,
sehingga mereka bisa menangkap inovasi baru yang ada. Jika sebuah inovasi
dianggap sulit dimengerti dan sulit diaplikasikan, maka hal itu tidak akan
diadopsi dengan cepat oleh mereka, lain halnya jika yang dianggapnya baru
merupakan hal mudah, maka mereka akan lebih cepat mengadopsinya. Beberapa jenis
inovasi bahkan harus disosialisasikan melalui komunikasi interpersonal dan
kedekatan secara fisik.
2. Pengadopsian:
Dalam tahap ini masyarakat mulai menggunakan inovasi yang mereka pelajari.
Diadopsi atau tidaknya sebuah inovasi oleh masyarakat ditentukan juga oleh
beberapa faktor. Riset membuktikan bahwa semakin besar keuntungan yang didapat,
semakin tinggi dorongan untuk mengadopsi perilaku tertentu. Adopsi inovasi juga
dipengaruhi oleh keyakinan terhadap kemampuan seseorang. Sebelum seseorang
memutuskan untuk mencoba hal baru, orang tersebut biasanya bertanya pada diri
mereka sendiri apakah mereka mampu melakukannya. Jika seseorang merasa mereka
bisa melakukannya, maka mereka akan cenderung mangadopsi inovasi tersebut.
Selain itu, dorongan status juga menjadi faktor motivasional yang kuat dalam
mengadopsi inovasi. Beberapa orang ingin selalu menjadi pusat perhatian dalam
mengadopsi inovasi baru untuk menunjukkan status sosialnya di hadapan orang
lain. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh nilai yang dimiliki individu
tersebut serta persepsi dirinya. Jika sebuah inovasi dianggapnya menyimpang
atau tidak sesuai dengan nilai yang ia anut, maka ia tidak akan mengadopsinya.
Semakin besar pengorbanan yang dikeluarkan untuk mengadopsi sebuah inovasi, semakin
kecil tingkat adopsinya.
3. Pengembangan Jaringan
Sosial: Seseorang yang telah mengadopsi sebuah
inovasi akan menyebarkan inovasi tersebut kepada jaringan sosial di sekitarnya,
sehingga sebuah inovasi bisa secara luas diadopsi oleh masyarakat. Difusi
sebuah inovasi tidak lepas dari proses penyampaian dari satu individu ke
individu lain melalui hubungan sosial yang mereka miliki. Riset menunjukkan
bahwa sebuah kelompok yang solid dan dekat satu sama lain mengadopsi inovasi
melalui kelompoknya. Dalam proses adopsi inovasi, komunikasi melalui saluran
media massa lebih cepat menyadaran masyarakat mengenai penyebaran inovasi baru
dibanding saluran komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal
memengaruhi manusia untuk mengadopsi inovasi yang sebelumnya telah
diperkenalkan oleh media massa.
Lima tahap proses
adopsi
1. Tahap pengetahuan:
Dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi baru.
Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui
berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui media elektronik, media
cetak , maupun komunikasi interpersonal di antara masyarakat
2. Tahap persuasi:
Tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran calon pengguna.
Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan ia dapat jika mengadopsi inovasi
tersebut secara personal. Berdasarkan evaluasi dan diskusi dengan orang lain,
ia mulai cenderung untuk mengadopsi atau menolak inovasi tersebut.
3. Tahap pengambilan
keputusan: Dalam tahap ini, seseorang membuat
keputusan akhir apakah mereka akan mengadopsi atau menolak sebuah inovasi.
Namun bukan berarti setelah melakukan pengambilan keputusan ini lantas menutup
kemungkinan terdapat perubahan dalam pengadopsian.
4. Tahap implementasi:
Seseorang mulai menggunakan inovasi sambil mempelajari lebih jauh tentang
inovasi tersebut.
5. Tahap konfirmasi:
Setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari pembenaran
atas keputusan mereka. Apakah inovasi tersebut diadopsi ataupun tidak,
seseorang akan mengevaluasi akibat dari keputusan yang mereka buat. Tidak
menutup kemungkinan seseorang kemudian mengubah keputusan yang tadinya menolak
jadi menerima inovasi setelah melakukan evaluasi.
Kategori pengadopsi
Rogers
dan sejumlah ilmuwan komunikasi lainnya mengidentifikasi 5 kategori pengguna
inovasi :
1. Inovator:
Adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baru. Hubungan
sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya.
Orang-orang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun
terdapat jarak geografis. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memeiliki
gaya hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi.
2. Pengguna awal:
Kelompok ini lebih lokal dibanding kelompok inovator. Kategori adopter seperti
ini menghasilkan lebih banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu
mencari informasi tentang inovasi. Mereka dalam kategori ini sangat disegani
dan dihormati oleh kelompoknya karena kesuksesan mereka dan keinginannya untuk
mencoba inovasi baru.
3. Mayoritas awal:
Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau menjadi
kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya, mereka akan dengan
berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam mengadopsi
inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti ini
menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan
kepada seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup
bermanfaat.
4. Mayoritas akhir:
Kelompok zang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah inovasi. Mereka
menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan mengadopsi inovasi sebelum
mereka mengambil keputusan. Terkadang, tekanan dari kelompoknya bisa memotivasi
mereka. Dalam kasus lain, kepentingan ekonomi mendorong mereka untuk mengadopsi
inovasi.
5. Laggard:
Kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan adopsi inovasi. Mereka
bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal hal baru. Kelompok ini
biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran sama
dengan mereka. Sekalinya sekelompok laggard mengadopsi inovasi baru, kebanyakan
orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap mereka
ketinggalan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_massa
https://scholar.google.com/scholar?q=diffusion+of+innovation+adalah&hl=id&as_sdt=0&as_vis=1&oi=scholart&sa=X&ved=0ahUKEwjcy5aJivXOAhUHv48KHV9mACoQgQMIGjAA
http://andhy-brenjenk.blogspot.co.id/2011/11/difusi-inovasi.html
https://www.scribd.com/doc/246256750/Consumer-Behaviour
http://www.ilmupsikologi.com/2015/12/perbedaan.komunikasi.massa.dan.komunikasi.interpersonal.html
DOWNLOAD PPT DI SINI
https://drive.google.com/file/d/0BxzZZrOdrx58YlRvai1mQlZuTHc/view?usp=sharing
https://drive.google.com/file/d/0BxzZZrOdrx58YlRvai1mQlZuTHc/view?usp=sharing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar