Minggu, 04 September 2016

GROUP INFLUENCES ON CONSUMER BEHAVIOR


Pengertian Group
Kelompok adalah kumpulan dari dua orang atau lebih yang berinteraksi dan mereka saling bergantung (interdependent) dalam rangka memenuhi kebutuhan dan tujuan bersama, meyebabkan satu sama lain saling mempengaruhi (Cartwright&Zander, 1968; Lewin, 1948)

Jenis-jenis Kelompok (Group)
Salah satu cara yang paling umum dalam meng-klasifikasi-kan jenis kelompok dalam sebuah Organisasi adalah dengan membaginya menjadi dua jenis yaitu Kelompok Formal dan Kelompok Informal. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai kedua jenis kelompok tersebut :

Kelompok Formal (Formal Group)
Kelompok Formal atau Formal Group adalah Kelompok yang sengaja dibentuk atau ditunjuk oleh Organisasi untuk melakukan tugas tertentu. Perilaku kelompok tersebut adalah diarahkan untuk mencapai Tujuan yang telah ditentukan oleh Organisasi. Kelompok Formal ini umumnya memiliki aturan dan pembagian tugas yang jelas.
Kelompok Formal ini dapat dibagi lagi menjadi 2 jenis yaitu :
  1. Kelompok Komando atau Command Group, yaitu kelompok formal yang terdiri dari individu-individu dalam organisasi dengan garis komando jelas seperti bawahan yang harus melapor ke atasannya. Kelompok Komando ini biasanya ditentukan dalam Bagan Organisasi.
  2. Kelompok Tugas atau Task Group, yaitu kelompok formal yang dibentuk untuk menyelesaikan tugas tertentu. Individu-individu yang bergabung ke dalam Kelompok Tugas adalah mereka yang dapat bekerjasama dalam menyelesaikan Tugas diarahkan oleh Organisasi. Contoh Kelompok Tugas dalam perusahaan Manufakturing adalah membentuk Kelompok Gugus Kendali Mutu (Quality Control Circle) yang tertugas untuk menangani masala-masalah kualitas.

Kelompok Informal (Informal Group)
Kelompok Informal atau Informal Group adalah Kelompok yang dibentuk oleh anggota organisasi yang mempunyai kepentingan yang sama. Kelompok Informal ini umumnya tidak terstruktur secara formal dan tidak ditetapkan secara resmi oleh organisasi. Timbulnya Kelompok Informal karena adanya tanggapan terhadap kebutuhan akan hubungan sosial.
Kelompok Informal ini dapat dibagi lagi menjadi 2 jenis yaitu :
  1. Kelompok Kepentingan atau Interest Group, yaitu kelompok yang dibentuk oleh individu-individu tertentu dalam organisasi yang memiliki kepentingan sama.
  2. Kelompok Persahabatan atau Friendship Group, yaitu kelompok yang terbentuk karena adanya persamaan karakteristik seperti kesamaan hobi, kesamaan pandangan politik, kesamaan kepercayaan ataupun kesamaan etnis.

BRANDING COMMUNITIES
Salah satu tren pemasaraan yang berkembang saat ini adalah strategi pemasaran melalui komunitas. Disamping meningkatkan loyalitas, komunitas juga merupakan suatu sarana bagi perusahaan untuk dapat sekaligus mendongkrak omset penjualan.
Saat ini kita melihat bahwa perusahaan menjadikan komunitas sebagai sesuatu yang penting bagi perusahaan mereka. Hal ini ditunjukkan dengan adanya program- program keanggotaan klub atau klub konsumen yang merupakan contoh komunitas yang dibentuk oleh produsen untuk meningkatkan hubungan mereka dengan konsumen (Kartajaya, 2003). Berbeda dengan klub konsumen, komunitas konsumen terbentuk karena adanya kebutuhan untuk bertukar pengetahuan dan berbagi pengalaman mengenai produk dan merek yang sama. Komunitas konsumen yang dimaksud adalah komunitas yang dapat memberikan kontribusi kepada produsen (Hasto Palupi, 2007).
Komunitas merek awalnya lahir dari suatu istilah yang cetuskan oleh Boorstin (1973) dengan konsep yang disebutnya dengan consumption community. Boorstin mengatakan bahwa pada masa depan di era mobilitas tinggi, orang-orang tidak hanya melihat pemukiman sebagai basis sense of community tetapi juga melihat adanya perasaan komunal dari kebiasaan konsumsi. Adanya perasaan komunal ini ditegaskan kembali oleh Goodwin (1997) yang menjabarkannya sebagai rasa persahabatan dengan perbincangan santai, keterbukaan, dengan adanya kebiasaan menolong antar sesama. Schiffman dan Kanuk (2000) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menjadikan su- atu kelompok atau komunitas memiliki kekuatan un- tuk mempengaruhi anggotanya, antara lain adalah karena faktor pengalaman dan informasi, kredibilitas, atraktifitas, dan jenis produk yang dikonsumsi komuni- tas itu sendiri.
Salah satu faktor pendorong Perusahaan menggunakan komunitas adalah untuk membedakan pengguna merek satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu komunitas ini bisa disebut sebagai komunitas merek. Dalam komunitas merek, setiap anggota dapat memperoleh manfaat atau nilai yang lebih yaitu mereka dapat mengetahui dan memahami merek yang mereka gunakan, bertukar informasi dan pengalaman dengan anggota lainnya, memperoleh jaringan yang lebih luas dengan tergabung dalam komunitas yang lebih besar dalam cakupan nasional, serta dapat terhubung dengan perusahaan melalui kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh perusahaan, sehingga manfaat diatas bisa disebut sebagai nilai pelanggan.
Nilai lebih yang dapat diperoleh dari merek produk tertentu bukan hanya sekedar dapat memenuhi kebutuhan dasar pelanggan, melainkan produk dengan merek tersebut dapat memenuhi kebutuhan aktualisasi diri konsumen dan sosialisasi, seperti melalui komunitas untuk berinteraksi satu dengan yang lain sehingga terjalin hubungan antara anggota dan terjadi pembentukan merek didalam komunitas tersebut. Komunitas merek juga tidak terlepas dari interaksi antar anggotanya agar memperkuat solidaritas komunitas merek tersebut. Sehingga melalui nilai tambah tersebut perusahaan dapat menciptakan loyalitas pelanggan terhadap merek tertentu serta dapat meningkatakan brand image konsumen terhadap perusahaan atau merek yang  mereka gunakan. (Yuswohady 2004)
Disisi lain komunitas merek dapat menjadi sarana atau wahana untuk bertemu dengan orang lain, membangun relationships, dan menemukan orang- orang yang memiliki satu minat di mana konsumen saling berinteraksi (Yuswohady, 2004). Wahana tersebut dikenal dengan komunitas.
Menurut muniz dan o’guinn yang dimaksud dengan komunitas merek adalah “A brand community is a specialized, non-geographically bound community, based on a structured set of social relations among admirers of a brand.”[1] maksudnya adalah komunitas yang memiliki spesialisasi tertentu atau spesifik, merupakan komunitas yang tidak terbatas oleh batasan geografis, berdasarkan hubungan sosial antar anggotanya yang menyukai merek tertentu.
Sementara menurut Schouten dan Mc Alexander (1995) menjelaskan bahwa komunitas merek merupakan  sebagai kelompok sosial yang berbeda yang dipilih secara pribadi berdasarkan pada persamaan komitmen terhadap kelas produk tertentu, merek dan aktivitas konsumsi.[2]
Menurut mc alexander, schouten dan koenig komunitas merek merupakan customer centric,  keberadaan dan arti dari komunitas tidak ter- pisahkan dari pengalaman konsumen terhadap merek tersebut .[3] Komunitas merek juga tidak terlepas dari interaksi antar anggotanya agar memperkuat soliditas komunitas merek.
Menurut resnick marck (2001) mendefinisikan bahwa komunitas adalah suatu kesempatan bagi pelanggan atau konsumen untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya untuk mencapai tujuannya, meskipun biasanya Komunitas di urus oleh pelanggan atau konsumen itu sendiri, tetapi ada juga yang dibentuk, didorong dan disponsori oleh perusahaan.[4]
Muniz dan O’Guinn (2001) menjelaskan bahwa terdapat beberapa Karakteristik dalam brand Community diantaranya adalah:
a.       Online brand community bebas dari batasan ruang dan wilayah
b.      Komunitas dibangun dari produk atau jasa komersial
c.       Merupakan tempat saling berinteraki dimana setiap anggota memiliki budaya untuk mendukung dan mendorong anggota lainnya untuk membagikan pengalaman bersama produk yang mereka miliki
d.      Relatif stabil dan memiliki komitmen yang kuat karena tujuan
e.       Anggota komunitas memiliki identitas dengan level diatas rata-rata konsumen awam karena mereka mengetahui seluk-beluk produk
Sifat-sifat utama dari komunitas merek adalah
1.                  Bersifat personal, tetapi kedekatan yang terjalin lebih diakibatkan karena pelanggan menggunakan merek-merek tertentu
2.                  Komunitas adalah sebuah alat untuk propagansi merek oleh brand owner (pemilik brand) sehingga sebenarnya keterikatan yang terjalin adalah keterikatan semu.
3.                  Keterikatan antara pemilik dan merek dengan pelanggan akan terputus bila ternyata pelanggan memutuskan untuk menggunakan merek lain.
4.                  Komunitas merek dibentuk dengan tujuan mengikat loyalitas pelanggan melalui rasa kepemilikan merek.
Di pasar yang kompetitif seperti sekarang ini, dengan makin hingar bingarnya media, tugas membangun merek menjadi makin penting dan menantang dari sebelumnya. Memanfaatkan sebuah komunitas merek — yang didefinisikan sebagai, ” masyarakat yang terikat tidak berdasarkan geografis secara khusus, melainkan didasarkan pada hubungan sosial terstruktur di antara pengagum merek” (Muniz & O’Guinn 2001) menjadi pendekatan yang efektif untuk membangun dan memelihara hubungan konsumen-merek.
Hubungan masyarakat pengguna merek, atau kelompok pengguna, dengan merek memiliki sejarah panjang. Di Amerika Serikat misalnya, HOG (Grup pemilik Harley) dan kelompok pengguna lainnya, akan menyediakan tempat bagi konsumen untuk berbagi pengalaman dan informasi tentang merek, untuk memecahkan masalah, dan untuk memenuhi kebutuhan rekan konsumen rekan dan perwakilan perusahaan. Kewajiban sosial dan hubungan yang dibangun melalui komunitas merek di kalangan konsumen, serta antara pemasar dan konsumen, memiliki implikasi yang signifikan bagi upaya pemasar yang berusaha menumbuhkan loyalitas merek.
Munculnya internet memungkinkan pengelola merek membangun keterikatan komunitas merek non-geografis secara spontan di dunia maya. Kini pemasar makin menyadari pentingnya komunitas merek virtual sebagai alat untuk membangun hubungan konsumen-merek. Pemasar juga makin tertarik untuk membuat dan mengelola komunitas virtual di internet mereka.
Pengertian Kelompok Referensi / Rujukan
Kelompok Referensi (Reference Group) atau Kelompok Rujukan atau Kelompok Acuan merupakan sekelompok orang yang dianggap memiliki pengaruh evaluasi, aspirasi, bahkan perilaku terhadap orang lain secara langsung ataupun tidak langsung, dan dianggap sebagai pembandingan bagi seseorang dalam membentuk nilai dan sikap umum/khusus atau pedoman khusus bagi perilaku.
Kelompok referensi memberikan standar (norma atau nilai) yang dapat menjadi perspektif penentu mengenai bagaimana seseorang berfikir atau berperilaku, dan kelompok ini berguna sebagai referensi seseorang dalam pengambilan keputusan.
Menurut Sumarwan (2003), kelompok referensi (preference group) adalah seorang individu atau sekelompok orang yang secara nyata mempengaruhi seseorang. Sedangkan menurut Kotler dan Keller (2000), kelompok referensi sebagai kelompok yang mempunyai pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang. Dan menurut Herbet H. Hyman, kelompok acuan didefinisikan sebagai orang atau kelompok orang yang mempengaruhi secara bermakna suatu perilaku individu.
Pada awalnya kelompok acuan dibatasi secara sempit dan hanya mencakup kelompok-kelompok dengan siapa individu berinteraksi secara langsung (keluarga dan teman-teman akrab). Tetapi konsep ini secara berangsur-angsur telah diperluas mencakup pengaruh perorangan atau kelompok secara langsung maupun tidak langsung. Kelompok acuan tidak langsung terdiri dari orang-orang atau kelompok yang masing-masing tidak mempunyai kontak langsung, seperti para bintang film, pahlawan olahraga, pemimpin politik, ataupun orang yang berpakain baik dan kelihatan menarik di sudut jalan (Schiffman, Leon G. and Kanuk, Leslie Lazar, 2000). Kelompok referensi merupakan hal yang sangat penting dan ide yang berpengaruh besar dalam Perilaku konsumen. Sebab, kelompok referensi adalah setiap orang atau kelompok yang dianggap sebagi perbandingan (referensi) bagi seseorang dalam membentuk nilai-nilai umum atau khusus, atau dalam berperilaku. Dari perspektif pemasaran, kelompok referensi merupakan kelompok yang dianggap sebagai dasar referensi bagi seseorang dalam menentukan keputusan pembelian atau konsumsi mereka.

Jenis Kelompok Rujukan :
Sumarwan (2003) menggolongkan kelompok referensi berdasarkan posisi dan fungsinya:
1.      Kelompok Formal, yaitu kelompok yang memiliki struktur organisasi secara tertulis dan keanggotaannya terdaftar secara resmi. Contohnya, Serikat Pekerja Indonesia, Universitas dll.
2.      Kelompok Informal, yaitu kelompok yang tidak memiliki struktur organisasi secara tertulis dan keanggotaannya tidak terdaftar secara resmi. Contohnya, kelompok bermain futsal, kelompok arisan dll.
3.      Kelompok Aspirasi, yaitu kelompok yang memperlihatkan keinginan untuk mengikuti norma, nilai, maupun perilaku dari orang lain yang dijadikan kelompok acuan. Anggota kelompok aspirasi tidak harus menjadi anggota dalam kelompok referensinya, atau antar anggota aspirasi tidak harus menjadi anggota kelompok referensinya dan saling berkomunikasi. Contoh, anak-anak muda yang mengikuti gaya berpakaian para selebriti Korea atau Amerika.
4.      Kelompok Disosiasi, yaitu seseorang atau kelompok yang berusaha menghindari asosiasi dengan kelompok referensi.

Pengaruh Kelompok Rujukan
Strategi Marketing Berdasarkan Pengaruh Kelompok Rujukan
Personal Selling Strategies
·         The Asch Phenomenon
Dapat didefinisikan sebagai efek dari kelompok acuan pada pengambilan keputusan individual yang terjadi karena tekanan yang dirasakan untuk menyesuaikan diri dengan pendapat yang dinyatakan oleh anggota kelompok.
·         Keberadaan Lingkungan
Advertising Strategies
·         Pengaruh Normatif
Pengaruh normatif adalah pengaruh dari kelompok acuan terhadap seseorang melalui norma-norma sosial yang harus dipatuhi dan diikuti. Pengaruh normatif akan semakin kuat terhadap seseorang untuk mengikuti kelompok acuan, jika ada tekanan kuat untuk mematuhi norm-norma yang ada, penerimaan sosial sebagai motivasi kuat serta produk dan jasa yang dibeli akan terlihat sebagai simbol dari norma sosial.
Seorang konsumen cenderung akan mengikuti apa yang dikatakan atau disarankan oleh kelompok acuan jika ada tekanan kuat untuk mengikuti norma-norma yang ada. Pengaruh semakin kuat jika ada sanksi sosial bagi konsumen yang tidak mengikuti sara dari kelompok acuan. Seorang bawahan ada kewajiban atau norma untuk meminta izin kepada atasannya, jika ia ingin melakukan sesuatu yang berkaitan degan pekerjaannya. Seorang anak akan minta persetujuan orang tuanya jika ia ingin memeli suatu produk yang berharga mahal. Jika si anak tidak melakukannya, orang tua mungkin akan memberikan sanksi sosial atau teguran bahkan hukuman kepada si anak.
Seorang konsumen mungkin memiliki motivasi kuat untuk mengikuti perilaku kelompok acuannya, karena adanya keinginan untuk diterima oleh kelompok acuan tersebut. Seorang anak berusaha belajar bagaimana bermain gitar, karena adanya keinginan untuk bisa bergabung dengan teman-temannya yang pandai bermain gitar. Si anak berusaha bisa melakukan apa yang dilakukan kelompok acuannya agar bisa diterima oleh kelompok acuannya.
Motivasi untuk mematuhi norma seringkali tidak cukup kuat untuk mempengaruhi perilaku seseorang kecuali jika produk dan jasa yang akan dibeli menggambarkan publicly conspicuous (produk yang terlihat pemakaiannya oleh orang lain, misalnya mobil, rumah, pakaian) dalam pembelian dan penggunaannya. Jika produk dan jasa yang dibeli akan terlihat oleh publik atau orang lain dalam pemakaiannya, maka konsumen akan berusaha mematuhi norma-norma yang diarahkan oleh kelompok acuan tersebut. Karena produk dan jasa yang dibeli akan menggambarkan citra diri konsumen tersebut.
·         Pengaruh Identifikasi / Ekspresi Nilai
Kelompok acuan akan mempengaruhi seseorang melalui fungsinya sebagai pembawa eksprsesi nilai. Seorang konsumen akan membeli kendaraan mewah dengan tujuan agar orang lain bisa memandangnya sebagai orang yang sukses atau kendaraan tersebut dapat meningkatkan citra dirinya. Konsumen tersebut merasa bahwa orang-orang yang memiliki kendaraan mewah akan dihargai dan dikagumi oleh orang lain. Konsumen memiliki pandangan bahwa orang lain menilai kesuksesan seseorang dicirikan oleh pemilikan kendaraan mewah, karena itu ia berusaha memiliki kendaraan tersebut agar bisa dipandang sebagai seseorang yang telah sukses.
·         Pengaruh Informasi
Kelompok acuan akan mempengaruhi pilihan produk atau merek dari seorang konsumen karena kelompok acuan tersebut sangat dipercaya sarannya karena ia memiliki pengetahuan dan informasi yang lebih baik. Seorang dokter adalah kelompok acuan bagi para pasiennya. Pasien menganggap bahwa dokter memiliki pengetahuan dan inforamasi yang dipercaya, selain itu secara sosial dan peraturan dokter adalh profesi yang memiliki otoritas dalam membuat resep obat.

Faktor yang Mempengaruhi Kekuatan Pengaruh Kelompok Acuan (referensi)
Besar kecilnya pengaruh yang diberikan oleh kelompok acuan terhadap perilaku individu biasanya tergantung dari sifat-sifat dasar individu, produk yang ditawarkan, juga pada faktor-faktor social yang spesifik.
a.       Informasi tentang produk dan pengalaman menggunakan produk tersebut Seseorang yang telah pengalaman langsung dengan produk atau jasa, memperoleh informasi lengkap tentang hal itu, mungkin dipengaruhi oleh saran atau contoh orang lain. Dalam iklan hampir selalu ditampilkan bahwa si sumber komunikasi, yang adalah kelompok acuan, memang sudah pernah menggunakan/mengkonsumsi produk atau jasa yang ditawarkan dan mereka puas.
b.      Kredibilitas, daya tarik, dan kekuatan kelompok acuan. Sebuah kelompok acuan yang dianggap kredibel, menarik, atau kuat dapat menginduksi sikap konsumen dan perubahan perilaku. Sebagai contoh, ketika konsumen memperhatikan dengan memperoleh informasi yang akurat tentang kinerja atau kualitas suatu produk atau jasa, mereka akan dipengaruhi oleh orang-orang yang mereka anggap sebagai orang yang terpercaya dan berpengetahuan.
c.       Sifat produk yang menonjol secara visual atau verbal. Produk yangmenonjol secara visual maupun verbal adalah produ-produk yang dikonsumsi didepan umum dan juga produk yang ekslusif seperti barang-barang mewah.
d.      Dampak kelompok acuan terhadap produk dan pilihan merek, terutama yang meyangkut reward power dan social power Di beberapa kasus, untuk beberapa produk, kelompok acuan mungkin kelompok acuan dapat mempengaruhi kategori produk baik seseorang dan pilihan merek (atau tipe). Seperti produk yang disebut produk plus, merek barang plus. Di kasus yang lain, kelompok acuan mempengaruhi hanya produk kategori keputusan.
e.       Besar kecilnya risiko yang dipersepsi konsumen bila dia menggunakan produk tersebut. Semakin besar resiko yang dipersepsi, semakin besar pengaruhkelompok acuan yang sengaja dicari. Orang yang ingin membeli mobil akan bertanya dan terus mencari informasikarena dia mempersepsi risiko yang tinggi (hargamahal dan dia bukan ahli mesin).

Klasifikasi kelompok dan karakteristik komunikasinya.
Berikut beberapa klasifikasi kelompok dan karakteristik komunikasinya menurut para ahli :
Kelompok primer dan sekunder.
Charles Horton Cooley pada tahun 1909 (dalam Jalaludin Rakhmat, 1994) mengatakan bahwa kelompok primer adalah suatu kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan akrab, personal, dan menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. Sedangkan kelompok sekunder adalah kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan tidak akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati kita.
Jalaludin Rakhmat membedakan kelompok ini berdasarkan karakteristik komunikasinya :
Ø Kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas. Dalam, artinya menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi, menyingkap unsur-unsur backstage (perilaku yang kita tampakkan dalam suasana pribadi saja). Meluas, artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rentangan dan cara berkomunikasi. Pada kelompok sekunder komunikasi bersifat dangkal dan terbatas.
Ø Komunikasi kelompok primer lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi, sedangkan kelompok primer adalah sebaliknya.
Ø Komunikasi kelompok primer cenderung informal, sedangkan kelompok sekunder formal.
Ø Komunikasi pada kelompok primer bersifat personal, sedangkan kelompok sekunder nonpersonal.
Ø Komunikasi kelompok primer cenderung ekspresif, sedangkan kelompok sekunder instrumental.
v Kelompok keanggotaan dan kelompok rujukan.
Theodore Newcomb (1930) melahirkan istilah kelompok keanggotaan (membership group) dan kelompok rujukan (reference group). Kelompok keanggotaan adalah kelompok yang anggota-anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota kelompok itu. Sedangkan kelompok rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap. Menurut teori, kelompok rujukan mempunyai tiga fungsi: fungsi komparatif, fungsi normatif, dan fungsi perspektif.
Kelompok rujukan/acuan (reference group) adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standar) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap. Grup referensi melibatkan satu atau lebih orang yang dijadikan sebagai dasar pembanding atau titik referensi dalam membentuk tanggapan afeksi dan kognisi serta meyatakan perilaku seseorang. Grup referensi ukurannya beragam (dari satu hingga ratusan orang), dapat memiliki bentuk nyata (orang sebenarnya), atau tak nyata dan simbolik ( eksekutif yang berhasil atau bintang olahraga). Grup referensi seseorang dapat berasal dari kelas sosial, subbudaya, atau bahkan budaya yang sama atau berbeda

Kelompok deskriptif dan kelompok preskriptif
John F. Cragan dan David W. Wright (1980) membagi kelompok menjadi dua: deskriptif dan peskriptif. Kategori deskriptif melihat proses pembentukan kelompok secara alamiah. Berdasarkan tujuan, ukuran, dan pola komunikasi, kelompok deskriptif dibedakan menjadi tiga:
· kelompok tugas.
· kelompok pertemuan.
· kelompok penyadar.
Kelompok tugas bertujuan memecahkan masalah, misalnya transplantasi jantung, atau merancang kampanye politik. Kelompok pertemuan adalah kelompok orang yang menjadikan diri mereka sebagai acara pokok. Kelompok terapi di rumah sakit jiwa adalah contoh kelompok pertemuan. Kelompok penyadar mempunyai tugas utama menciptakan identitas sosial politik yang baru.
Kelompok preskriptif, mengacu pada langkah-langkah yang harus ditempuh setiap anggota kelompok dalam mencapai tujuan kelompok. Cragan dan Wright mengkategorikan enam format kelompok preskriptif, yaitu: diskusi meja bundar, simposium, diskusi panel, forum, kolokium, dan prosedur parlementer.
Virtual community diasumsikan sebagai sekumpulan orang - orang yang melakukan teraksi secara online (internet) yang didasari pada antusias yang besar terhadap pengetahuan yang lebih spesifik mengenai aktivitas yang biasa mereka lakukan.
Komunitas Online merupakan komunitas yang disatukan oleh kesamaan pekerjaan, hobi, atau faktor penyatu lainnya, dimana media integrasi dan komunikasinya menggunakan internet; • Komunitas Online tidak mengandalkan pertemuan langsung secara fisik. Komunitas online bisa menjadi komunitas primer ataupun sekunder.
Model Komunitas Online
·         Konten: artikel, informasi, dan berita tentang topik yang menarik bagi sekelompok orang
·         Forum atau newsgroup dan email: sehingga anggota komunitas Anda dapat berkomunikasi dalam mode tertunda
·         Chat dan instant messaging: sehingga anggota masyarakat dapat berkomunikasi dengan lebih segera
Siklus Keanaggotaan
·         Peripheral (Lurker) - Mengamati masyarakat dan melihat konten. Tidak menambah isi masyarakat atau diskusi
·         Inbound (Novice) - Mulai melibatkan diri dalam komunitas. Mulai untuk menyediakan konten. Sementara berinteraksi dalam beberapa diskusi. Berkomentar dan posting
·         Insider (Regular) - Secara konsisten menambah konten dan melakukan diskusi komunitas. Berinteraksi dengan pengguna lain. Secara teratur posting.
·         Boundary (Leader) - Diakui sebagai peserta veteran. Menghubungkan partisipan dengan  membuat ide-ide konsep. Partisipan mengakui  pertimbangan pendapat mereka. Sering mengkoreksi pengguna yang dianggap tidak pantas
·         Outbound (Elder) Meninggalkan komunitas untuk berbagai alasan. Minat telah berubah. Komunitas telah bergerak ke arah yang dia tidak setuju dengan. Kurangnya waktu. Pengguna mendapat pekerjaan baru yang memakan waktu terlalu banyak untuk mempertahankan kehadiran konstan dalam komunitas.
Word of Mouth
Pada satu dekade terakhir, muncul fenomena penggunaan word of mouth marketing sebagai salah satu upaya produsen untuk mengkomunikasikan produknya kepada konsumen. Menurut Word of Mouth Marketing Association (WOMMA), word of mouth adalah komunikasi dari orang ke orang antara sumber pesan dan penerima pesan dimana penerima pesan menerima pesan dengan cara tidak komersial mengenai suatu produk, pelayanan atau merek. Fenomena word of mouth marketing diyakini mampu memotivasi kuantitas pembelian konsumen, bersifat efisien karena tidak memerlukan anggaran yang besar, menciptakan citra positif bagi produk serta mampu menyentuh hati konsumen. Efektifitas dari penggunaan word of mouth marketing dengan mengkomunikasikan tema yang menjadi buah bibir pada word of mouth marketing kepada komunitas yang terkait erat dengan brand yang dipasarkan. Fenomena word of mouth diyakini bisa mendorong pembelian oleh konsumen, bisa mempengaruhi komunitas, efisien karena tidak memerlukan budget yang besar (low cost), bisa menciptakan image positif bagi produk, dan bisa menyentuh emosi konsumen.
Keberadaan dari word of mouth wajib diperhatikan oleh tim pemasaran perusahaan dalam menyusun strategi pemasarannya. Karena selama bertahun-tahun, iklan melalui media massa berhasil dan mampu menginterupsi orang, tetapi hal tersebut membutuhkan budget yang tidak sedikit. Berdasarkan hasil survey Global Online Consumer Study (2009) yang dilakukan oleh lembaga riset Nielsen, menunjukkan bahwa sembilan dari sepuluh konsumen (90 persen) mempercayai rekomendasi mengenai pembeliansuatu produk dari orang – orang yang mereka kenal, dan tujuh dari sepuluh konsumen (70 persen) mempercayai rekomendasi atau testimoni dari pelanggan yang terpercaya. Konsumen sebagai sasaran penjualan sebuah produk sebetulnya memang memiliki potensi yang besar untuk memasarkan produk yang dipasarkan.Bagaikan virus yang dapat melakukan penyebaran sangat cepat yang semula hanya diawali oleh satu orang yang memiliki jaringan luas, dapat memberikan pengaruh terhadap pemasaran sebuah produk.Dengan melihat kekuatan pengaruh pemasaran dari mulut ke mulut, produsen sebuah produk perlu untuk lebih fokus dalam menjalankan “Word of Mouth Marketing”.Membuat para pelanggan membicarakan (do the talking), mempromosikan (do the promotion) dan menjual (do the selling).
Harley-Davidson memberikan contoh klasik. Setelah 1985 melakukan leveraged buyback yang menyelamatkan perusahaan, manajemen merumuskan strategi bersaing dan model bisnis yang didasarkan pada filosofi komunitas merek. Tidak hanya mengubah program pemasaran, Harley-Davidson retooled setiap aspek dalam organisasi – mulai dari budaya prosedur operasi hingga struktur tata kelola – untuk mendorong strategi komunitasnya.
Manajemen Harley mengakui bahwa merek Harley telah berkembang menjadi sebuah merek fenomenal yang berbasis komunitas. “Persaudaraan” pengendara, yang disatukan oleh etos bersama, ditawarkan Harley sebagai dasar untuk melakukan reposisi sebagai satu produsen sepeda motor yang dipahami para bikers menurut istilah mereka sendiri. Untuk memperkuat posisi komunitas-sentris ini dan memantapkan hubungan antara perusahaan dan pelanggan, semua staf Harley menjadi semacam relawan pada setiap event komunitas.

Consumer and Subculture
    Konsep pengembangan riset pemasaran saat ini bukan hanya melakukan  analisis target market berdasarkan identifikasi jenis kelamin, usia, pekerjaan ataupun demografi tempat tinggal, namun lebih spesifik lagi mengarah pada subkultur yang berdasarkan pada pendapatan, kelas sosial, etnik, ras, dan agama. 
    Arus mobilisasi yang berkembang pesat menyebabkan pertumbuhan signifikan pada masyarakat pendatang. Demografis suatu Negara saat ini hampir di huni oleh berbagai kelas sosial serta etnik, ras dan agama yang majemuk. Di satu sisi kelas sosial merupakan bagian dari subkultur yang menentukan perilaku atau tindakan konsumen terhadap produk barang/jasa. Sedangkan di sisi lain semakin maju sebuah Negara atau daerah maka semakin tinggi daya jual daerah tersebut untuk menarik pendatang tinggal dan hidup di sana.
Misalnya, seperti klub mobil VW, berbagai usia, menyukai segala product VW, setiap akhir pekan konvoi atau hangout bersama. Kadang kala membuat even – even tertentu yang menunjukan ke-eksistensian anggotanya. Mereka memiliki identitas yang kuat pada sesama anggota kelompoknya. Hal tersebut terbukti dari keaktifan mereka dalam kegiatan kelompok dan stiker lambang kelompok yang tertempel jelas di mobil setiap anggotanya serta baju seragam yang mereka kenakan setiap event –event tertentu. Selain itu, dijual pula berbagai marcandise VW yang laris dibeli anak – anak pecinta VW. Mikrokultur yang mencerminkan kepentingan bersama dalam beberapa organisasi atau kegiatan mempengaruhi apa yang mereka beli.

Subkultur sebagai segmentasi konsumen
Consumer Spending and Economic Behavior
Misalnya produk tas-tas bermerek Zara, Chanel menyasar pada kalangan sosialita yang dalam ukuran pendapatan ekonominya dikategorikan menengah ke atas. Segmentasi yang dilakukan produsen tas tersebut tentu tidak akan ditujukan pada kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Ethnic and Racial Subcultures
Identitas etnik dan agama merupakan komponen signifikan dalam membentuk  konsep diri konsumen.  Pada masyarakat heterogen seperti di Indonesia dengan banyak culture mereka berupaya untuk menjaga ke-eksistensian subculturenya dari masyarakat dominan.
Melihat hal ini marketer tidak bisa mengelak bahwa masyarakat minoritas dengan subkultur berdasarkan Ras dan etnis serta agama merupakan market potensial untuk disasar. Contohnya di Jogja dalam industri kuliner terdapat banyak restaurant dengan menu makanan khas seperti masakan manado, ikan bakar makasar, mie aceh, masakan timur, bahkan makanan Korean, jepang juga ikut meramaikan industry kuliner di Jogja . Mayoritas pengunjung sebagian besar adalah masyarakat dari daerah tersebut. Namun makanan daerah tersebut juga popular dikalangan konsumen “luar” hal ini disebabkan karena rasa  makanan tersebut dapat mudah di terima  oleh lidah konsumen “luar”. Selain itu dengan membawa keunikan suatu etnik tertentu pada sebuah produk akan menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen untuk mencoba produk.
Etnis China adalah salah satu populasi terbesar di Indonesia, oleh sebab itu pasar China dianggap potensial sebagai sarana marketer. Tidak jarang produk –produk tertentu seperti sido muncul, selalu ambil bagian dalam promosi pada even –event masyarakat Tiongha.  
Selain itu, menyasar subkultur tertentu juga dapat melalui media – media etnis atau comunitas. Survei menunjukkan bahwa anggota kelompok etnis mendapatkan banyak informasi produk mereka dari media etnis khusus.
Nilai dan Sikap Kolektif dalam Subkultur
Sikap kolektif yang ditunjukan dalam perspektif kelas sosial serta berdasarkan penghasilan terlihat pada bagaimana ketika pekerja yang bekerja dalam lingkungan kelas sosial yang sama, dan penghasilan yang sama pula, akan cenderung menunjukan budaya kolektif baik dalam berbagi ide, konsumsi barang, serta berpeluang dalam hal mencari pasangan di lingkungan yang ada.
Misalnya, ketika beberapa kelompok eksekutif atau karyawan bank bersosialisasi satu sama lain. Makan cara pandang dalam sikap mengkonsumsi barang atau produk akan cenderung sama. Karena individu tersebut memiliki nilai dan pemahaman yang sama terhadap simbol yang ada dalam barang tersebut. Seperti membeli peralatan make up untuk kebutuhan pekerjaan, akan didukung oleh nilai-nilai yang ada terhadap bagaimana peralatan make up yang baik digunakan dalam ruang lingkup pekerjaan mereka.

Etnicity and Marketing Strategies 
Marketer harus mempertimbangkan segmentasi pasar berdasarkan subkultur target market yang didasari oleh ras, etnik dan agama. Kebutuhan dan keinginan dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh keanggotaannya dalam subkultur tertentu, faktor tersebut mempengaruhi perilaku konsumen. Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat minoritas cenderung lebih percaya pada endoser iklan dari kelompok mereka sendiri. Kepercayaan ini tentu akan meningkatkan kredibilitas dan pada akhirnya sikap yang positif kepada produk.  
Dalam membuat strategi pesan, pemasar harus memikirkan mengenai bagaimana subkultur berkomunikasi.  Dalam perspektif budaya terdapat dua kategori budaya, yaitu high-context dan low context. Pada masyarakat dengan budaya high context atau kontek budaya tinggi cenderung memiliki suatu tingkat kompleksitas nilai dan budaya tinggi. Hal ini dapat dilihat dari rumitnya hubungan antar anggota di dalamnya sebab masing-masing anggota itu berlaku nilai budaya dan pranata yang menjadi ciri khas konteks masyarakat tersebut. Sebaliknya kategori masyarakat dengan konteks budaya rendah lebih memiliki kebebasan dalam berhubungan antar anggotanya. Nilai-nilai yang berlaku pada konteks budaya rendah tidak serumit pada masyarakat konteks budaya tinggi. Hal ini terjadi di Indonesia, misalnya orang Jawa yang penuh basa –basi, tatakrama, (high-context) berbeda dengan orang Jakarta yang lebih terbuka, ceplas –ceplos dan “semau gue” (low context). Begitu juga dalam mengintepretasikan sebuah pesan iklan. Biasanya budaya high contex akan lebih sensitive dengan symbol, gerak tubuh dan nilai yang terkandung dalam sebuah iklan.
Is Ethnicity a moving target
Mengidentifikasi segmen berdasarkan subkultur ras, etnis dan agama pada masyarakat yang sangat majemuk tidaklah mudah. Kadangkala saat memasarkan suatu produk berdasarkan segmentasi ras, etnis atau agama akan mendapat kesan negatif atau perlawanan dari ras ,etnis atau agama yang lainnya.  Strategi produk yang dipasarkan dengan subkultur etnis tidak selalu dimaksudkan untuk konsumsi hanya pada subkultur etnis tersebut. Namun dapat mengacu pada nilai atau identitas  produk yang terkait dengan keunikan dan kelebihan etnis tertentu. Atau bahkan sebagai konsep kreatif iklan untuk menarik audiens.
Misalnya “iklan sajojo “kuku bima” segmentasinya bukan hanya pada masyarakat atau subkultur papua. Namun keperkasaan, ketangguhan etnik papualah yang ingin disampaikan. Begitu juga dengan iklan lainnya yang merepersentasikan suatu subkultur etnis tertentu.
Akulturasi dan The Progressive Learning Model
Pada dasarnya suatu produk dari negara atau daerah asing dapat diterima oleh budaya tetentu melalui sebuah proses akulturasi yaitu suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Akulturasi terjadi dipengaruhi oleh agen akulturasi yaitu keluarga, teman, organisasi dan media. Produk makanan cepat saji dapat diterima dengan baik oleh konsumen Indonesia karena kemampuannya dalam berakulturasi dengan budaya masyarakat Indonesia. Dapat dilihat dengan adanya farian nasi, berkedel pada paket yang disediakan tanpa menghilangkan produk aslinya yaitu burger, hotdog, sandwich, dll. Hal tersebut dilakukan dengan metode yang disebut the progressive learning model, teori ini berasumsi bahwa orang secara bertahap belajar budaya baru karena sering melakukan kontak atau berinteraksi dengan budaya tersebut. Ketika mereka mulai menyesuaikan diri,  budaya aslinya akan berbaur dengan budaya yang baru, namun konsumen cenderung lebih mempertahankan budaya aslinya.
Religion and Consumption
Dewasa ini pemasar semakin menggunakan tema – tema keagamaan dan spiritual saat menyapa konsumen.Sebelumnya strategi pemasaran dengan unsur agama dan spiritual sangat dihindari namun saat ini hal tersebut telah berubah seiring kebutuhan dan keinginan pasar yang ingin lebih disasar secara segmented. Meskipun belum ada teori yang secara ekplisit ada kaitannya pengaruh agama pada perilaku konsumen, namun kenyataannya banyak produk dipasaran  yang sudah mengarah pada fenomena ini.  
Subkultur agama berdampak pada variable konsumen seperti kepribadian, sikap terhadap gender, tingkat kelahiran, membentuk rumah tangga, pendapatan bahkan sikap politik. Para pemimipin atau organisasi keagamaan dapat mendorong atau mencegah konsumen dalam menggunakan beberapa produk.  Saat MUI menyatakan suatu produk mengandung minyak babi dan tidak halal maka sebagian besar konsumen islam pasti akan menghentikan penggunaan produk tersebut.
Mass Communication Information Flows

Direct Flow ( Two-Step flow of communication) Menjelaskan beberapa aspek dalam kelompok, namun terlalu sederhana untuk kebanyakan alur komunikasi.  Dari gambar diatas menjelaskan bahwa direct flow of information dari perusahaan kepada konsumen dengan yang lebih realistik multistep flow of mass communications.
The Multi Step Flow of Communication  melibatkan opinion leaders untuk area produk tertentu yang aktif mencari informasi yang relevan dari media massa serta sumber lainnya. Opinion Leaders  ini memproses informasi  dan mengirimkan interpretasi  untukbeberapa anggota kelompok mereka. Anggota kelompok ini juga menerima informasi darimedia massa maupun dari anggota kelompok yang bukan Opinion Leaders. Dan gambar diatas juga menunjukkan bahwa para pemimpin non-opini ini sering melakukan permintaan informasi dan pasokan umpan balik kepada para pemimpin opini.Demikian juga, pemimpin opini menerima informasi dari  pengikut mereka serta dari pemimpin opini lain. Perhatikan bagaimana media sosial memfasilitasi proses aliran multi langkah ini secara online.

SITUATIONS IN WHICH WOM AND OPINION LEADERSHIP OCCUR
WOM terjadi ketika    :
·         Terjadi secara langsung ketika individu mencariinformasikepada oranglain.
·         Ketika seorang individu secara sukarela memberikan informasi.

Likelihood of Seeking an Opinion Leader
Product/purchase
Involvement
Product Knowledge
High
Low
High
Moderate likelihood
High likelihood
Low
Low  likelihood
Moderate likelihood

CHARACTERISTIC OF OPINION  LEADER
·            Mampu terlibat secara aktif untuk menambah pengetahuan tentang kategori produk danpengalaman yang dirasakan.
·            Aktifitas dalam memberikan informasi yang dilakukan sering kali terjadi diantara individudengan karakteristik demografis yang sama
·            Friendly
·            Mempunyai tingkatan yang lebih tinggi untuk di ekspose oleh media yang relevan (media yang fokus diwilayah yang relevan dengan pengetahuan yang dimilikinya dan memberikan solusi untuk mengidentifikasi sebagian masalah

THE MARKET MAVEN
        Konsumen yang tidak hanya terfokus pada satu kategori produk karena mereka memiliki ketertarikan pada jenis produk lain. Tipe konsumen ini dapat menerima segala jenis informasi, mereka tidak mementingkan tertarik pada satu jenis produk dan tidak juga terdepan dalam melakukan pembelian dalam satu produk, pembelian sesuatu produk sesuai dengan kebutuhan mereka.
        Seseorang bisa menjadi opinion leader pada suatu produk tertentu tetapi bisa menjadi opinion seekers untuk produk lain.
        Memiliki kecenderungan untuk selalu mengetahui informasi produk baru.
        Mereka mengunakan berbagai macam media untuk berbagi informasi dengan yang lain.
        Dalam memberikan pengaruh cenderung pada kelompok atau individu dengan demografis yang sama.
        Mereka memberikan informasi tentang kualitas produk, cara penjualan, harga, ketersediaan produk, karakteristik, karyawan toko dan informasi lain yang relevan.
Influentials
        Menggeneralisasikan pengaruh pasar melalui media cetak
        Mengajak masyarakat umum untuk menggunakan rekomendasi dari WOM.
E-influentials
        Mempengaruhi keputusan konsumen melalui internet.
        Aktif menggunakan internet untuk mengumpulkan dan menyebarkan informasi secara online.
FACTOR AFFECTING THE SPREAD OF INNOVATIONS
• Type of groups
• Type of decision
• Marketing effort
• Relative advantage
• Complexity
• Observability
• Fullfillment of felt need
• Compatibility
• Trialability
• Perceived risk
MARKETING STRATEGY, WOM AND OPINION LEADERSHIP
        Iklan harus mampu membangkitkan hal-hal yang menarik dan merangsang/mendorong WOM, mengunakan pengakuan OL.
        Kelompok konsumen yang berpotensi untuk menjadi OL, Sales person (WOM) Menggunakan style leader dari target market, misalnya, menggunakan icon untuk menambah dayatarik.
        Pengembangan dari WOM (gerilya marketing, iklan di film, sponsor suatu acara).


FACTOR AFFECTING THE SPREAD OF INNOVATIONS
A.    Inovasi dan difusi inovasi
Empat kata kunci dalam proses difusi inovasi adalah:
1.      Inovasi
Inovasi adalah produk atau jasa yang dipersepsi oleh konsumen sebagai produk atau jasa baru. Derajat kebaruan produk dibedakan antara:
a.       Produk yang sebelumnya belum pernah ada dimanapun.
b.      Lini produk baru
c.       Produk dengan inovasi simbolik yang mengkomunikasikan arti social yang barubagi produk yang bersangkutan
d.      Produk dengan inovasi teknologi yang memberikan perubahan fungsional pada produk semula.
e.       Inovasai dalam bidang ritel seperti yang dilakukan dalam pelbagai macam bentuk multilevel marketing.
f.       Inovasi atau produk baru juga dijelaskan dari sudut pandang orientasi pengguna produk.
Kategori Inovasi
        Continuous innvation : Jenis ini secara relatif membutuhkan perubahan perilaku yang kecil atau perubahan perilaku yang tidak penting bagi konsumen.
        Dinamically Continuous Innovation : Memerlukan perubahan yang sedang pada perilaku yang penting bagi individu.
        Discontinuous innovation : Memerlukan perubahan besar pada perilaku individu/kelompok.
2.      Difusi
Difusi inovasi adalah proses dimana produk baru, jasa, maupun ide baru (atau suatu inovasi) menyebar melalui komunikasi keanggota anggota system social atau populasi dalam jangka waktu tretentu.

3.      Difusi melalui jalur komunikasi
Kecapatan penyebaran inovasi produk tergantung pada komunikasi antara pemasar dan konsumen, dan juga komunikasi antar konsumen itu sendiri. Dampak dari semua ini adalah apakah produk bisa diterima atau ditolak. Innovator dan early adopters, yaitu orang yang lebih cepat menerima inovasi, berperan besar sebagai perantara komunikasi kepada later adopter. Inovator dan early adopter berfungsi sebagai pemimpin pendapat yang menyebarkan informasi kepada konsumen dan mempengaruhi keputusan beli mereka. Kecepatan difusi sangat ditentukan oleh keberadaan dan kecanggihan system dan jalur komunikasi di suatu pasar.

4.        Difusi melalui system social
Difusi produk baru terjadi didalam latar belakang social yang sering disebut sebagai system social. System social adalah lingkungan fisik, social, atau budaya, dimana seorang hidup dan berfungsi. Suatu system social memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dari systemsosial yang lain. Nilai-nilai dan norma itu mempengaruhi anggota-anggota system social itu dalam halkesediaan mereka untuk menerima suatu inovasi. System social tradisional yang lebih lambat menerima inovasi daris pasda system social yang modern. Pemasar harus berorientasi pada system social dalam memperkenalkan produk baru sehingga dapat dighunakan strategi yang mengena untuk system social tersebut.

5.        Difusi melalui waktu
Waktu merupaka tulang punggung proses difusi. Waktu selalu diperhitungkan dalam tiga cara yang berbeda untuk menjelaskan difusi dan tidak berhubungan satu dengan yang lain.
a.       Waktu membeli; asdalah jangka waktu yang dihabiskan dari awal mula konsumen menyadari akan keberadaan produk sampai waktu dia membeli atau menolak produk tersebut.
b.      Identifikasi kategoti adaptor mencakup; innovator, early adopter, early majority, late majority dan laggards.
c.       Kecepatan adopsi; adalah seberapa cepat produk baru diadopsi oleh anggota dari suatu system social.

ADOPSI

Tahapan peristiwa yang menciptakan proses difusi
1.      Mempelajari Inovasi: Tahapan ini merupakan tahap awal ketika masyarakat mulai melihat, dan mengamati inovasi baru dari berbagai sumber, khususnya media massa. Pengadopsi awal biasanya merupakan orang-orang yang rajin membaca koran dan menonton televisi, sehingga mereka bisa menangkap inovasi baru yang ada. Jika sebuah inovasi dianggap sulit dimengerti dan sulit diaplikasikan, maka hal itu tidak akan diadopsi dengan cepat oleh mereka, lain halnya jika yang dianggapnya baru merupakan hal mudah, maka mereka akan lebih cepat mengadopsinya. Beberapa jenis inovasi bahkan harus disosialisasikan melalui komunikasi interpersonal dan kedekatan secara fisik.
2.      Pengadopsian: Dalam tahap ini masyarakat mulai menggunakan inovasi yang mereka pelajari. Diadopsi atau tidaknya sebuah inovasi oleh masyarakat ditentukan juga oleh beberapa faktor. Riset membuktikan bahwa semakin besar keuntungan yang didapat, semakin tinggi dorongan untuk mengadopsi perilaku tertentu. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh keyakinan terhadap kemampuan seseorang. Sebelum seseorang memutuskan untuk mencoba hal baru, orang tersebut biasanya bertanya pada diri mereka sendiri apakah mereka mampu melakukannya. Jika seseorang merasa mereka bisa melakukannya, maka mereka akan cenderung mangadopsi inovasi tersebut. Selain itu, dorongan status juga menjadi faktor motivasional yang kuat dalam mengadopsi inovasi. Beberapa orang ingin selalu menjadi pusat perhatian dalam mengadopsi inovasi baru untuk menunjukkan status sosialnya di hadapan orang lain. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh nilai yang dimiliki individu tersebut serta persepsi dirinya. Jika sebuah inovasi dianggapnya menyimpang atau tidak sesuai dengan nilai yang ia anut, maka ia tidak akan mengadopsinya. Semakin besar pengorbanan yang dikeluarkan untuk mengadopsi sebuah inovasi, semakin kecil tingkat adopsinya.
3.      Pengembangan Jaringan Sosial: Seseorang yang telah mengadopsi sebuah inovasi akan menyebarkan inovasi tersebut kepada jaringan sosial di sekitarnya, sehingga sebuah inovasi bisa secara luas diadopsi oleh masyarakat. Difusi sebuah inovasi tidak lepas dari proses penyampaian dari satu individu ke individu lain melalui hubungan sosial yang mereka miliki. Riset menunjukkan bahwa sebuah kelompok yang solid dan dekat satu sama lain mengadopsi inovasi melalui kelompoknya. Dalam proses adopsi inovasi, komunikasi melalui saluran media massa lebih cepat menyadaran masyarakat mengenai penyebaran inovasi baru dibanding saluran komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal memengaruhi manusia untuk mengadopsi inovasi yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh media massa.

Lima tahap proses adopsi
1.      Tahap pengetahuan: Dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui media elektronik, media cetak , maupun komunikasi interpersonal di antara masyarakat
2.      Tahap persuasi: Tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran calon pengguna. Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan ia dapat jika mengadopsi inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan evaluasi dan diskusi dengan orang lain, ia mulai cenderung untuk mengadopsi atau menolak inovasi tersebut.
3.      Tahap pengambilan keputusan: Dalam tahap ini, seseorang membuat keputusan akhir apakah mereka akan mengadopsi atau menolak sebuah inovasi. Namun bukan berarti setelah melakukan pengambilan keputusan ini lantas menutup kemungkinan terdapat perubahan dalam pengadopsian.
4.      Tahap implementasi: Seseorang mulai menggunakan inovasi sambil mempelajari lebih jauh tentang inovasi tersebut.
5.      Tahap konfirmasi: Setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari pembenaran atas keputusan mereka. Apakah inovasi tersebut diadopsi ataupun tidak, seseorang akan mengevaluasi akibat dari keputusan yang mereka buat. Tidak menutup kemungkinan seseorang kemudian mengubah keputusan yang tadinya menolak jadi menerima inovasi setelah melakukan evaluasi.

Kategori pengadopsi
Rogers dan sejumlah ilmuwan komunikasi lainnya mengidentifikasi 5 kategori pengguna inovasi :
1.      Inovator: Adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baru. Hubungan sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya. Orang-orang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun terdapat jarak geografis. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memeiliki gaya hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi.
2.      Pengguna awal: Kelompok ini lebih lokal dibanding kelompok inovator. Kategori adopter seperti ini menghasilkan lebih banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi tentang inovasi. Mereka dalam kategori ini sangat disegani dan dihormati oleh kelompoknya karena kesuksesan mereka dan keinginannya untuk mencoba inovasi baru.
3.      Mayoritas awal: Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya, mereka akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti ini menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat.
4.      Mayoritas akhir: Kelompok zang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan mengadopsi inovasi sebelum mereka mengambil keputusan. Terkadang, tekanan dari kelompoknya bisa memotivasi mereka. Dalam kasus lain, kepentingan ekonomi mendorong mereka untuk mengadopsi inovasi.
5.      Laggard: Kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan adopsi inovasi. Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal hal baru. Kelompok ini biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran sama dengan mereka. Sekalinya sekelompok laggard mengadopsi inovasi baru, kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap mereka ketinggalan zaman.



 DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_massa
https://scholar.google.com/scholar?q=diffusion+of+innovation+adalah&hl=id&as_sdt=0&as_vis=1&oi=scholart&sa=X&ved=0ahUKEwjcy5aJivXOAhUHv48KHV9mACoQgQMIGjAA
http://andhy-brenjenk.blogspot.co.id/2011/11/difusi-inovasi.html
https://www.scribd.com/doc/246256750/Consumer-Behaviour
http://www.ilmupsikologi.com/2015/12/perbedaan.komunikasi.massa.dan.komunikasi.interpersonal.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar